NU dan neoliberalisme di Indonesia*
Gambaran Thomas Friedman (kolomnis the New York Times) bahwa Indonesia di era reformasi adalah the messy state (negara amburadul) bisa dilihat di permukaan dataran politik-ekonomi, di mana terjadi ketegangan antara fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme pasar membawa bendera neoliberalisme dan mencuatkan perlawanan massa Islam berbasis fundamentalisme agama dengan perda-perda syariah-nya. Terkait hal ini, Nahdlatul Ulama (NU) tidaklah tinggal diam. Seraya menggemakan Islam moderat, inklusif dan terbuka, NU memperlihatkan karakter dan sikap kritisnya terhadap gerak-gerik fundamentalisme pasar maupun fundamentalisme agama.
Lantas, apa dan bagaimana respons NU atas neoliberalisme (fundamentalisme pasar) yang diusung para teknokrat era SBY-Kalla dewasa ini?
Studi PSIK Universitas Paramadina (2006) menunjukkan kaum Muslim tradisional yang berbasis di pedesaan itu umumnya menentang keras praktik Neoliberal yang dibawa kaum teknokrat, ekonom dan intelektual epistemis liberal di era reformasi dewasa ini.
Dalam pandangan kalangan pesantren NU, sebagaimana diputuskan dalam forum Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Konbes) di Surabaya Juli 2006, NU menegaskan bahwa keterlibatan bangsa dan negara kita dalam globalisasi dan pasar bebas seharusnya diorientasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bukan untuk membawa bangsa dan negeri kita ke dalam paham neoliberalisme, di mana peran dan fungsi negara diperlemah dalam menyejahterakan rakyat.
NU menentang logika dana moneter internsaional (IMF), Bank Dunia dan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang menginginkan korporasi swasta, perusahaan multinasional dan pasar harus diberi kebebasan seluas-luasnya dalam kehidupan ekonomi dan sosial, dan ini niscaya mengurangi peran negara di dalamnya.
Kalangan pesantren NU mencemaskan dan mengkhawatirkan bahwa ideologi yang berbasis fundamentalisme pasar bebas ini bakal membebaskan kegiatan perusahaan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah. Apalagi kegiatan perusahaan swasta itu membawa dampak yang buruk dan biaya eksternalitas terhadap rakyat dan kehidupan kemasyarakatan.
Masalah privatisasi
Kalangan NU menolak dan mencela neoliberalisme. Mengapa? Karena dalam neoliberalisme, sektor swasta diniscayakan menggantikan fungsi dan peran negara, dengan ciri khasnya yakni pemotongan subsidi dan privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perusahaan air minum, listrik, sekolah, rumah sakit, minyak dan gas, perbankan dan angkutan umum (perkeretaapian, penerbangan, angkutan laut).
Sebagai dampaknya, terjadi pengurangan subsidi bagi kaum miskin dan kemelaratan pun merajalela. Pandangan dan praktik neoliberalisme ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah kaum miskin di Indonesia dan mereka pun dipaksa mengatasi sendiri masalah kesehatan, pendidikan dan kekurangan pangan yang mereka alami.
Akibatnya, hak-hak dasar sosial dan ekonomi warga negara semakin dipangkas. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran US$2 per hari mencapai lebih dari 100 juta jiwa sebagai konsekuensi pencabutan subsidi BBM dan tarif listrik. Dampak lainnya, arus urbanisasi dari pedesaan terus meluap ke perkotaan dan menjadi beban ruralisasi di kota-kota yang makin terbatas dan kritis daya dukung lingkungannya.
Para ulama NU mengingatkan negara dan masyarakat, bahwa semestinya negara memperkuat perannya dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya untuk menyejahterakan rakyat, dan dalam waktu yang bersamaan negara harus memperkuat hak-hak warga negara sehingga pemenuhan keadilan dan kesejahteraan (''mashalihurra' iyah'') sebagai cita-cita sosial umat Islam, muncul sebagai resultante dari pemenuhan kewajiban negara atas tuntutan hak-hak warga negara.
Timbulkan resistensi
Intelektual muda NU Ahmad Baso (2006) mengkritik Freedom Institute yang didirikan Rizal Mallarangeng dkk dan pengusaha Aburizal Bakrie karena mengibarkan neoliberalisme di Indonesia, dan menimbulkan resistensi dari kalangan Islam tradisonalis maupun modernis, kaum sosialis religius maupun nasionalis religius, yang tetap berpegang teguh kepada cita-cita sosial konstitusi UUD 1945.
Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani serta lembaga think-thank CSIS dan Mendag Marie Elka Pangestu yang juga dikenal sebagai pendukung neoliberalisme tampaknya harus dikritisi, diawasi dan dikoreksi dengan kendali demokratis dari civil society, agar bangsa ini tidak terjerembab ke dalam lingkaran setan kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan.
Sejauh ini, sudah terjadi ketegangan yang tak nampak (invisible tension) antara kalangan civil society (masyarakat madani) yang anti-neoliberalisme dan kalangan ekonom, intelektual dan komunitas epistemis liberal yang mendukung neoliberalisme.
Di era neoliberalisme ini, celakanya, Islam Indonesia adalah Islam yang gampang goyah oleh kepentingan politik sesaat, dan Islam sebagai agama juga mengalami komodifikasi dan eksploitasi kapital-politis- ideologis sehingga makin jauh dari citra, performance dan profil Islam yang beradab dan damai.
Munculnya Islam radikal dan garang pada aksi terorisme dalam tragedi bom Bali, Jakarta, Ambon, Poso dan kota lainnya adalah bukti kuat atas komodifikasi dan eksploitasi ini.
Karena itu, para ekonom, teknokrat dan intelektual epistemis liberal harus menyadari bahwa resistensi Islam tradisionalis NU dan masyarakat madani atas neoliberalisme menyimpan bom waktu di masa depan.
Berbagai kebijakan Neoliberal yang substansinya adalah pengurangan subsidi, privatisasi dan liberalisasi ekonomi, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kehidupan bangsa ini yang mayoritas Muslim dan hidup miskin.
Suatu ketegangan dan konflik kepentingan antara kalangan Neoliberal dan civil society-Islam tradisional hampir pasti akan berlangsung di tengah jalan reformasi yang semakin terjal.
Jika hal itu terjadi, saya khawatir sejarah pertarungan antara penerus neoliberalisme- neoimperialisme versus nasionalisme kerakyatan-populism e religius, sejatinya berulang kembali di Tanah Air, meski mungkin luput dari perhatian publik sehari-hari.
Oleh Herdi Sahrasad
Associate Director Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina