Thursday, July 26, 2007

NU dan neoliberalisme di Indonesia*


Gambaran Thomas Friedman (kolomnis the New York Times) bahwa Indonesia di era reformasi adalah the messy state (negara amburadul) bisa dilihat di permukaan dataran politik-ekonomi, di mana terjadi ketegangan antara fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme pasar membawa bendera neoliberalisme dan mencuatkan perlawanan massa Islam berbasis fundamentalisme agama dengan perda-perda syariah-nya. Terkait hal ini, Nahdlatul Ulama (NU) tidaklah tinggal diam. Seraya menggemakan Islam moderat, inklusif dan terbuka, NU memperlihatkan karakter dan sikap kritisnya terhadap gerak-gerik fundamentalisme pasar maupun fundamentalisme agama.
Lantas, apa dan bagaimana respons NU atas neoliberalisme (fundamentalisme pasar) yang diusung para teknokrat era SBY-Kalla dewasa ini?
Studi PSIK Universitas Paramadina (2006) menunjukkan kaum Muslim tradisional yang berbasis di pedesaan itu umumnya menentang keras praktik Neoliberal yang dibawa kaum teknokrat, ekonom dan intelektual epistemis liberal di era reformasi dewasa ini.
Dalam pandangan kalangan pesantren NU, sebagaimana diputuskan dalam forum Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Konbes) di Surabaya Juli 2006, NU menegaskan bahwa keterlibatan bangsa dan negara kita dalam globalisasi dan pasar bebas seharusnya diorientasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bukan untuk membawa bangsa dan negeri kita ke dalam paham neoliberalisme, di mana peran dan fungsi negara diperlemah dalam menyejahterakan rakyat.
NU menentang logika dana moneter internsaional (IMF), Bank Dunia dan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang menginginkan korporasi swasta, perusahaan multinasional dan pasar harus diberi kebebasan seluas-luasnya dalam kehidupan ekonomi dan sosial, dan ini niscaya mengurangi peran negara di dalamnya.
Kalangan pesantren NU mencemaskan dan mengkhawatirkan bahwa ideologi yang berbasis fundamentalisme pasar bebas ini bakal membebaskan kegiatan perusahaan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah. Apalagi kegiatan perusahaan swasta itu membawa dampak yang buruk dan biaya eksternalitas terhadap rakyat dan kehidupan kemasyarakatan.
Masalah privatisasi
Kalangan NU menolak dan mencela neoliberalisme. Mengapa? Karena dalam neoliberalisme, sektor swasta diniscayakan menggantikan fungsi dan peran negara, dengan ciri khasnya yakni pemotongan subsidi dan privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perusahaan air minum, listrik, sekolah, rumah sakit, minyak dan gas, perbankan dan angkutan umum (perkeretaapian, penerbangan, angkutan laut).
Sebagai dampaknya, terjadi pengurangan subsidi bagi kaum miskin dan kemelaratan pun merajalela. Pandangan dan praktik neoliberalisme ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah kaum miskin di Indonesia dan mereka pun dipaksa mengatasi sendiri masalah kesehatan, pendidikan dan kekurangan pangan yang mereka alami.
Akibatnya, hak-hak dasar sosial dan ekonomi warga negara semakin dipangkas. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran US$2 per hari mencapai lebih dari 100 juta jiwa sebagai konsekuensi pencabutan subsidi BBM dan tarif listrik. Dampak lainnya, arus urbanisasi dari pedesaan terus meluap ke perkotaan dan menjadi beban ruralisasi di kota-kota yang makin terbatas dan kritis daya dukung lingkungannya.
Para ulama NU mengingatkan negara dan masyarakat, bahwa semestinya negara memperkuat perannya dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya untuk menyejahterakan rakyat, dan dalam waktu yang bersamaan negara harus memperkuat hak-hak warga negara sehingga pemenuhan keadilan dan kesejahteraan (''mashalihurra' iyah'') sebagai cita-cita sosial umat Islam, muncul sebagai resultante dari pemenuhan kewajiban negara atas tuntutan hak-hak warga negara.
Timbulkan resistensi
Intelektual muda NU Ahmad Baso (2006) mengkritik Freedom Institute yang didirikan Rizal Mallarangeng dkk dan pengusaha Aburizal Bakrie karena mengibarkan neoliberalisme di Indonesia, dan menimbulkan resistensi dari kalangan Islam tradisonalis maupun modernis, kaum sosialis religius maupun nasionalis religius, yang tetap berpegang teguh kepada cita-cita sosial konstitusi UUD 1945.
Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani serta lembaga think-thank CSIS dan Mendag Marie Elka Pangestu yang juga dikenal sebagai pendukung neoliberalisme tampaknya harus dikritisi, diawasi dan dikoreksi dengan kendali demokratis dari civil society, agar bangsa ini tidak terjerembab ke dalam lingkaran setan kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan.
Sejauh ini, sudah terjadi ketegangan yang tak nampak (invisible tension) antara kalangan civil society (masyarakat madani) yang anti-neoliberalisme dan kalangan ekonom, intelektual dan komunitas epistemis liberal yang mendukung neoliberalisme.
Di era neoliberalisme ini, celakanya, Islam Indonesia adalah Islam yang gampang goyah oleh kepentingan politik sesaat, dan Islam sebagai agama juga mengalami komodifikasi dan eksploitasi kapital-politis- ideologis sehingga makin jauh dari citra, performance dan profil Islam yang beradab dan damai.
Munculnya Islam radikal dan garang pada aksi terorisme dalam tragedi bom Bali, Jakarta, Ambon, Poso dan kota lainnya adalah bukti kuat atas komodifikasi dan eksploitasi ini.
Karena itu, para ekonom, teknokrat dan intelektual epistemis liberal harus menyadari bahwa resistensi Islam tradisionalis NU dan masyarakat madani atas neoliberalisme menyimpan bom waktu di masa depan.
Berbagai kebijakan Neoliberal yang substansinya adalah pengurangan subsidi, privatisasi dan liberalisasi ekonomi, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kehidupan bangsa ini yang mayoritas Muslim dan hidup miskin.
Suatu ketegangan dan konflik kepentingan antara kalangan Neoliberal dan civil society-Islam tradisional hampir pasti akan berlangsung di tengah jalan reformasi yang semakin terjal.
Jika hal itu terjadi, saya khawatir sejarah pertarungan antara penerus neoliberalisme- neoimperialisme versus nasionalisme kerakyatan-populism e religius, sejatinya berulang kembali di Tanah Air, meski mungkin luput dari perhatian publik sehari-hari.
Oleh Herdi Sahrasad
Associate Director Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
*Artikel ini dimuat di harian Bisnis Indonesia, 7 April 2007

CGI, Mafia Berkeley dan Penghapusan Utang


Lawatan Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato Figaredo, ke Indonesia beberapa waktu lalu, menyisakan keputusan penting dari pemerintah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, tidak lagi berutang kepada IMF dan menyatakan posisi sebagai equal partner. Selain itu, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan penting yakni, membubarkan forum Consultative Groups for Indonesia (CGI) sebagai komitmen untuk kemandirian ekonomi bangsa. Sekaligus, mengungkapkan keinginan untuk mengurangi beban utang dan mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing.
Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional.
Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Rencana Jahat Mafia Barkeley
Terobosan pembubaran CGI dan percepatan pelunasan utang IMF, sebagai jalan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi, ternyata tidak dikehendaki oleh Mafia Berkeley (MB) di negeri ini. Mereka adalah sekelompok ekonom beraliran neoklasik, yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok MB ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley,” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini, dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation.
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis David Ransom (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapialisme global.
Generasi pertama kelompok MB terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka di antaranaya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Budiono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol MB, berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF- Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, agar sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi kepentingan global. Mekanisme pengaitan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah, tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa Mafia Berkeley enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader Mafia Berkeley seperti Menko Ekuin Budiono dan Menkeu Sri Mulyani. Setelah tidak lagi berhubungan dengan CGI, para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan negara kreditor secara bilateral (G to G). Mengingat beberapa negara atau lembaga keuangan internasional, seperti JBIC, ADB, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk China, yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit anggaran.
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS (Tajuk Media Indonesia, 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas rata-rata utang per tahun yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar shopping list tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan investasi PLN senilai 13,3 miliar dolar AS sampai 2009 (Republika, 18 Desember 2006).
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, anggaran negara juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunganya tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran CGI, yang dimaksudkan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Mengubah Paradigma
Penyelesaian persoalan utang di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang melatarbelakangi para pembuat keputusan dalam mengelola perekonomian. Keinginan untuk mandiri hanya menjadi retorika, jika tidak diiringi dengan perubahan haluan ekonomi nasional, dari yang bercorak neoliberal menjadi antineoliberal. Sebab, segala bentuk transaksi utang, terutama yang berasal dari luar negeri, sejatinya dibuat sebagai bentuk transaksi jual-beli yang hanya menguntungkan pembuat keputusan di negara-negara industri maju dan para elit di negara penerima utang. Selain itu, pinjaman luar negeri juga menyangkut bentuk bantuan teknis, yang diarahkan pada perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah. Tujuannya, memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi perusahaan-perusaha an asing yang berasal dari negara pemberi utang, untuk menguasai perekonomian nasional. Singkatnya, utang luar negeri sudah sejak lama digunakan sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia, dalam menjalankan kolonialisme di berbagai negara dunia ketiga.
Sejalan dengan prinsip kemandirian ekonomi, langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi kebijakan yang telah meliberalisasi sektor keuangan seperti, kebijakan rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Liberalisasi sektor keuangan ini telah mematikan peran intermediary yang melekat pada institusi keuangan termasuk perbankan. Dampaknya telah mematikan potensi sektor riil domestik dan membuat Indonesia semakin tergantung pada kekuatan ekonomi dan produk asing. Keuangan negara juga semakin terbebani, karena harus menanggung bukan saja bunga obligasi rekap tapi, juga pembayaran bunga surat berharga seperti Seritifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Beban ini semakin berat karena pembayaran utang luar negeri (cicilan pokok dan bunganya), sudah sangat membebani alokasi belanja pemerintah dalam APBN.
Kedaulatan dan kemandirian tersebut, hanya mungkin diperoleh jika pemerintah melakukan penghapusan utang Indonesia, membatalkan segala produk kebijakan yang lahir dari hasil intervensi lembaga-lembaga kreditor, meninjau kembali keanggotaan Indonesia di lembaga-lembaga kreditor, dan mulai memikirkan upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak berasal dari utang luar negeri.
Berbagai skema penghapusan utang sudah banyak ditawarkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya, membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Jika hal ini dilakukan pemerintah, terdapat peluang yang cukup leluasa untuk merumuskan kebijakan anggaran negara yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Mafia Berkeley dan Agen Asing

Oleh Kusfiardi
Bisnis Indonesia Sabtu, 28/10/2006
Sehubungan dengan pengembalian dana berjaga-jaga kepada Dana Moneter Internasional (IMF) oleh pemerintah, Franciscus Xaverius Seda dalam wawancara dengan harian ini (Bisnis, 18 Oktober) menilai tindakan tersebut menunjukkan sikap penakut pemerintah, termasuk presidennya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Frans Seda, pemerintah masih mau membayar utang dan tidak mau minta penghapusan utang.
Pemerintah juga tidak mau memanggil semua kreditor untuk menyatakan Indonesia tidak bisa bayar utang dan menyampaikan bahwa semua uang guna membayar utang akan digunakan untuk mengatasi kemiskinan.
Namun, bukan berarti Indonesia harus menghentikan ketergantungan pada utang baru. Menurut dia, pinjaman tetap diperlukan untuk pembangunan dan menghilangkan pengangguran. Apabila ditelusuri pikiran dan tindakan Frans Seda dalam hubungan Indonesia dan IMF serta penghapusan utang, sebenarnya pernyataan tersebut tidaklah istimewa.
Pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda adalah orang yang mengundang IMF datang ke Indonesia. Dia menulis surat kepada Managing Director IMF Schweitzer agar Indonesia kembali menjadi anggota IMF. Dalam surat tersebut, Frans Seda juga meminta agar IMF membantu program pemulihan ekonomi Indonesia yang ketika 1966 mengalami krisis. Sejak itu pula IMF (bersama dengan Bank Dunia) sudah mengendalikan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia sesuai kepentingan negara kaya pemegang saham utama di kedua lembaga ini.
Ketika Indonesia mengalami krisis pada pertengahan 1997 lalu, Frans Seda juga berperan penting, terutama pada saat masa kerja IMF di Indonesia harus berakhir pada 2003. Melalui Sidang Tahunan 2003, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah merekomendasikan agar Pemerintah segera mengakhiri kontrak dengan IMF (Ketetapan MPR No.VI/2002), paling lambat akhir 2003.
Namun, pemerintah Indonesia (pada masa Megawati Soekarno Putri menjabat Presiden) justru memilih memperpanjang masa campur tangan IMF melalui Post Program Monitoring (PPM). Pilihan untuk menjalani PPM tidak terlepas dari peran Mafia Berkeley yang berada di dalam dan di luar pemerintahan.
Kelompok ekonom neoliberal ini berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan keberadaan IMF di Indonesia. Mulai dari para ekonom tua sampai ekonom-ekonom muda generasi penerusnya. Dalam pandangan mereka, pemandoran oleh IMF diperlukan untuk pemulihan perekonomian Indonesia. Di antara Mafia Berkeley tersebut Frans Seda, yang waktu itu menjabat sebagai penasihat presiden ikut berperan dalam memperpanjang masa kerja IMF di Indonesia. Dia waktu itu didukung oleh Dorodjatun Kuntjorojakti dan Boediono, generasi kedua Mafia Berkeley, yang masing-masing menjabat sebagai menko perekonomian dan menteri keuangan.
Para Mafia Berkeley telah berhasil memperpanjang masa intervensi asing melalui keberadaan IMF di negeri ini. Termasuk menjerumuskan Presiden Megawati Soekarnoputri, ke dalam cara berpikir ekonomi ala Mafia Berkeley. Seperti diketahui, Presiden Megawati Soekarnoputri pada sambutannya selaku Ketua Umum PDIP dalam ulang tahun PDIP di Bali, menyatakan siap melaksanakan kebijakan yang tidak populer dan tidak populis. Pernyataan itu menjawab perlawanan rakyat terhadap pelaksanan divestasi PT Indosat, peningkatan harga BBM, tarif listrik dan telepon. Dengan pernyataan itu, Presiden Megawati Soekarnoputri tanpa sadar telah secara resmi memproklamirkan diri sebagai pelindung dan juru bicara para ekonom Mafia Berkeley.
Peran Frans Seda tampaknya memang bukan hanya sebagai penasihat presiden demi mengamankan posisi para ekonom Mafia Berkeley. Tetapi sekaligus mengarahkan cara berpikir Presiden Megawati untuk melindungi dan menjadi juru bicara para ekonom Mafia Berkeley. Dengan demikian, Frans Seda bisa dengan penuh keyakinan menyatakan semua BUMN harus diprivatisasi.
Kedaulatan ekonomi
Dengan beban utang yang ada saat ini maka akan sulit sekali bagi pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi. Penghapusan utang sebenarnya adalah peluang yang menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Sebagaimana pernyataan Frans Seda, kedaulatan ekonomi adalah menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang lahir pada 1945, yaitu ekonomi usaha bersama, negara menguasai semua hajat hidup orang banyak dan penguasaan negara tersebut adalah demi kepentingan orang banyak.
Namun, peluang itu akan sulit diraih jika pemerintah masih bergantung pada utang luar negeri, walaupun dengan alasan utang hanya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, utang yang dibuat oleh pemerintah terdiri dari utang proyek dan utang program. Utang proyek adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk barang dan jasa hasil produksi perusahaan di negara pemberi pinjaman. Utang program adalah pinjaman yang berpotensi memberikan penerimaan dalam bentuk uang, tetapi memiliki syarat yang sangat ketat berkaitan dengan perubahan kebijakan (deregulasi) . Dalam deregulasi yang menjadi persyaratan utang tersebut, pemerintah harus meliberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, menghapuskan segala macam bentuk subsidi, serta menyerahkan pengelolaan barang publik dan pelayanan umum pada swasta melalui privatisasi.
Proses dalam pembuatan utang juga didominasi oleh pihak pemberi utang, yang menentukan bentuk dan peruntukan utang yang dibuat pemerintah Indonesia, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Melihat pada bentuk dan proses pembuatan utang tersebut, maka pinjaman yang diperoleh pemerintah adalah merupakan alat bagi negara pemberi pinjaman (kreditor) untuk mengendalikan dan mengontrol kebijakan pemerintah Indonesia.
Utang sekaligus digunakan juga sebagai alat untuk memasarkan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan di negara mereka. Kemudian utang juga menjadi alat bagi kreditor untuk membuka akses pasar bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan di negara mereka untuk menguasai perekonomian Indonesia. Akumulasi manfaat dari adanya utang dinikmati sepenuhnya oleh perusahaan di negara pemberi utang dalam bentuk akumulasi keuntungan. Selain itu, utang juga menciptakan ketergantungan kepada negara pemberi utang dan membuat perekonomian nasional sangat mudah dipengaruhi oleh kepentingan asing.
Bahkan utang luar negeri telah menabrak kedaulatan ekonomi dalam UUD 1945 yang mengamanatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama, negara menguasai semua hajat hidup orang banyak demi sebesar-besar kepentingan orang banyak.
Menyadari bahwa utang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan rakyat, maka Koalisi Anti Utang selalu mendesak pemerintah untuk menghapus utang lama dan menolak utang baru.
Namun, penghapusan utang ini menurut Frans Seda, seperti disampaikannya dalam rapat konsultasi Panja DPR dengan para mantan menteri keuangan, hanya akan mengurangi harga diri Indonesia di mata Internasional. Bahkan dia bersama ekonom senior Mafia Berkeley lainnya dalam pertemuan tersebut menegaskan bahwa pemerintah harus committed untuk melaksanakan pembayaran utang.
Dengan demikian, sesungguhnya Frans Seda hanya sedang mempropagandakan bentuk lain yang melestarikan ketergantungan terhadap utang luar negeri, kemudian memanipulasinya dengan dalih atas nama kepentingan rakyat. Upaya itu termasuk melestarikan transaksi utang sebagai alat penjajahan gaya baru yang tidak mungkin bisa memberi manfaat kepada rakyat, kecuali demi memudahkan kepentingan modal internasional. Mereka itu adalah perusahaan-perusaha an dari negara-negara pemberi pinjaman (Amerika Serikat dan anggota G-8 lainnya) yang mengeruk keuntungan dari Indonesia. Tampaknya sudah jelas adanya Mafia Berkeley di negeri ini tidak akan berhenti menjadi agen asing.


Thursday, July 19, 2007

Sinergi Sabar dan Shalat


Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al
Baqarah [2]: 155)

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabda
Rasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah
ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai
gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah
gerak dan olah rasa (sensibilitas) . Ketiganya terpadu secara cantik dan
selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling
melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik,
rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional) , dan kepekaan terhadap
jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT. Yang menarik,
Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Misalnya
dalam QS Al Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah
[2] ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?
Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar
(ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai
upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk
mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd [13]: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak
mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam
kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar
selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri
misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkan
syahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat
dari Allah. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan
menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah
kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak
membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama
semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar
bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini
terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu
yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar
dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan
ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak)
merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah
sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian?
Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa
dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan
kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar
menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa
dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa
melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah
kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata
lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang
Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap
optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan,
melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita
harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk
mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat
melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan
syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan
kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik),
inderawi (kecerdasan sensibilitas) , aql, dan pengelolaan nafs menjadi
motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan
memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran
absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr [89]: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu
mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat
adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya
tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang,
tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian
diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh
menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai
media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu
meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan
kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang
meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang
membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy
memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa
yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat.
Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas
itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin
dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi
shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya
kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat
berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan
ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan
kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat
akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang
Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT,
hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan
sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak
kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT
akan terbuka lebar.