Friday, August 24, 2007

“Perang Edit” di Wikipedia


Sebuah perangkat pemindai online yang dikembangkan seorang mahasiswa California Institute of Technology berhasil melacak jutaan IP address yang mengedit entry dalam situs ensiklopedia online Wikipedia, demi memanipulasi data. Salah satunya adalah IP address milik Badan Intelijen Pusat AS, CIA, yang di antaranya dilaporkan telah mengedit entry tentang Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad.


Wikipedia memang mempunyai kebijakan yang memperkenankan para penggunanya di seluruh dunia untuk melakukan penyuntingan terhadap entry-entry di dalamnya. Namun, kebijakan ini kini mengancam kredibilitas situs ensiklopedia gratis itu ketika sebuah perangkat pemindai online mengungkap bagaimana CIA, korporasi-korporasi seperti Diebold, dan yang lainnya secara rutin mengedit entry-entry di dalamnya dengan tujuan menghilangkan kritik dan memanipulasi kebenaran.

“Wikipedia Scanner”, nama perangkat yang dikembangkan Virgil Griffith—mahasiswa CalTech—melacak database yang menghubungkan jutaan suntingan anonim Wikipedia kepada organisasi-organisasi dimana suntingan-suntingan itu berasal, melalui referensi-silang hasil suntingan tersebut dengan data orang yang menggunakan IP address yang terekam.

“Pada 17 November 2005, seorang pengguna anonim Wikipedia menghapus 15 paragraf dari sebuah artikel mengenai perusahaan AS pembuat mesin e-voting, Diebold. Kelima belas paragraf tersebut merupakan bagian yang memuat kritik terhadap mesin buatan perusahaan itu dan dugaan penggalangan dana oleh CEO perusahaan bagi kampanye Presiden George W. Bush. Dalam kasus ini, perubahan tersebut datang dari IP address yang dimiliki Diebold itu sendiri,” papar Griffith coba menjelaskan contoh kasus manipulasi terhadap Wikipedia.

Griffith juga berhasil mendaftar sejumlah korporasi lain dan institusi-institusi pemerintah AS yang telah memanipulasi Wikipedia, yang secara esensial berupaya menutupi kebenaran dan menggantikannya dengan propaganda tanpa berdasarkan atas netralitas dan obyektivitas.

Hasilnya, sebagaimana dilaporkan situs wired.com, adalah sebuah database berisi 34,4 juta suntingan yang dilakukan oleh 2,6 juta organisasi atau perorangan, dari mulai CIA, Microsoft, hingga Kongres AS.

Namun Griffith mengakui bahwa perangkat buatannya tidak mampu mengidentifikasi individu yang melakukan suntingan. “Secara teknis, kami tidak mengetahui apakah suntingan itu datang dari seseorang di institusi tersebut atau bukan. Namun, kami jelas mengetahui bahwa suntingan berasal dari seseorang yang memiliki akses kepada jaringan institusi itu,” tulis Griffith.

Sebagian besar dari artikel yang telah diubah itu telah diperbaiki, baik oleh Wikipedia maupun para pengguna lainnya. Bagi para pengguna anonim yang telah menyunting tanpa obyektivitas dan netralitas itu, Wikipedia kerap memberi peringatan seperti: You have recently vandalized a Wikipedia article, and you are now being asked to stop this type of behavior. Namun, persoalannya, menurut Paul Joseph Watson dari Prison Planet, adalah jika mayoritas pengguna Wikipedia sepakat dengan hasil suntingan, maka ia akan menjadi sebuah kebenaran.

Sebelumnya, Watson pun berhasil mengungkap bagaimana sekelompok vandalis bekerja sama dalam upaya menghapus jejak kebenaran peristiwa 9/11 dari Wikipedia. Artikel-artikel yang dihapus di antaranya meliputi “teori-teori konspirasi”, “skandal seks politisi Partai Republik”, “keraguan atas laporan Komisi 9/11”, dan “gerakan pemecatan Presiden Bush”.

Ketika dimintai komentarnya mengenai keterlibatan CIA dalam “skandal Wikipedia” ini, seorang jurubicara badan intelijen itu, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan, “Saya ingin menegaskan poin yang jauh lebih besar dan signifikan, bahwa CIA memiliki misi vital untuk melindungi Amerika Serikat, dan inilah fokus dari agensi.”[irm]
Sumber: BBC News, Prison Planet, Wired, Herald Sun.

Thursday, July 26, 2007

NU dan neoliberalisme di Indonesia*


Gambaran Thomas Friedman (kolomnis the New York Times) bahwa Indonesia di era reformasi adalah the messy state (negara amburadul) bisa dilihat di permukaan dataran politik-ekonomi, di mana terjadi ketegangan antara fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Fundamentalisme pasar membawa bendera neoliberalisme dan mencuatkan perlawanan massa Islam berbasis fundamentalisme agama dengan perda-perda syariah-nya. Terkait hal ini, Nahdlatul Ulama (NU) tidaklah tinggal diam. Seraya menggemakan Islam moderat, inklusif dan terbuka, NU memperlihatkan karakter dan sikap kritisnya terhadap gerak-gerik fundamentalisme pasar maupun fundamentalisme agama.
Lantas, apa dan bagaimana respons NU atas neoliberalisme (fundamentalisme pasar) yang diusung para teknokrat era SBY-Kalla dewasa ini?
Studi PSIK Universitas Paramadina (2006) menunjukkan kaum Muslim tradisional yang berbasis di pedesaan itu umumnya menentang keras praktik Neoliberal yang dibawa kaum teknokrat, ekonom dan intelektual epistemis liberal di era reformasi dewasa ini.
Dalam pandangan kalangan pesantren NU, sebagaimana diputuskan dalam forum Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Konbes) di Surabaya Juli 2006, NU menegaskan bahwa keterlibatan bangsa dan negara kita dalam globalisasi dan pasar bebas seharusnya diorientasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bukan untuk membawa bangsa dan negeri kita ke dalam paham neoliberalisme, di mana peran dan fungsi negara diperlemah dalam menyejahterakan rakyat.
NU menentang logika dana moneter internsaional (IMF), Bank Dunia dan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang menginginkan korporasi swasta, perusahaan multinasional dan pasar harus diberi kebebasan seluas-luasnya dalam kehidupan ekonomi dan sosial, dan ini niscaya mengurangi peran negara di dalamnya.
Kalangan pesantren NU mencemaskan dan mengkhawatirkan bahwa ideologi yang berbasis fundamentalisme pasar bebas ini bakal membebaskan kegiatan perusahaan swasta dari peraturan dan kebijakan pemerintah. Apalagi kegiatan perusahaan swasta itu membawa dampak yang buruk dan biaya eksternalitas terhadap rakyat dan kehidupan kemasyarakatan.
Masalah privatisasi
Kalangan NU menolak dan mencela neoliberalisme. Mengapa? Karena dalam neoliberalisme, sektor swasta diniscayakan menggantikan fungsi dan peran negara, dengan ciri khasnya yakni pemotongan subsidi dan privatisasi badan usaha milik negara (BUMN) yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perusahaan air minum, listrik, sekolah, rumah sakit, minyak dan gas, perbankan dan angkutan umum (perkeretaapian, penerbangan, angkutan laut).
Sebagai dampaknya, terjadi pengurangan subsidi bagi kaum miskin dan kemelaratan pun merajalela. Pandangan dan praktik neoliberalisme ini telah menyebabkan bertambahnya jumlah kaum miskin di Indonesia dan mereka pun dipaksa mengatasi sendiri masalah kesehatan, pendidikan dan kekurangan pangan yang mereka alami.
Akibatnya, hak-hak dasar sosial dan ekonomi warga negara semakin dipangkas. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran US$2 per hari mencapai lebih dari 100 juta jiwa sebagai konsekuensi pencabutan subsidi BBM dan tarif listrik. Dampak lainnya, arus urbanisasi dari pedesaan terus meluap ke perkotaan dan menjadi beban ruralisasi di kota-kota yang makin terbatas dan kritis daya dukung lingkungannya.
Para ulama NU mengingatkan negara dan masyarakat, bahwa semestinya negara memperkuat perannya dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya untuk menyejahterakan rakyat, dan dalam waktu yang bersamaan negara harus memperkuat hak-hak warga negara sehingga pemenuhan keadilan dan kesejahteraan (''mashalihurra' iyah'') sebagai cita-cita sosial umat Islam, muncul sebagai resultante dari pemenuhan kewajiban negara atas tuntutan hak-hak warga negara.
Timbulkan resistensi
Intelektual muda NU Ahmad Baso (2006) mengkritik Freedom Institute yang didirikan Rizal Mallarangeng dkk dan pengusaha Aburizal Bakrie karena mengibarkan neoliberalisme di Indonesia, dan menimbulkan resistensi dari kalangan Islam tradisonalis maupun modernis, kaum sosialis religius maupun nasionalis religius, yang tetap berpegang teguh kepada cita-cita sosial konstitusi UUD 1945.
Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani serta lembaga think-thank CSIS dan Mendag Marie Elka Pangestu yang juga dikenal sebagai pendukung neoliberalisme tampaknya harus dikritisi, diawasi dan dikoreksi dengan kendali demokratis dari civil society, agar bangsa ini tidak terjerembab ke dalam lingkaran setan kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan.
Sejauh ini, sudah terjadi ketegangan yang tak nampak (invisible tension) antara kalangan civil society (masyarakat madani) yang anti-neoliberalisme dan kalangan ekonom, intelektual dan komunitas epistemis liberal yang mendukung neoliberalisme.
Di era neoliberalisme ini, celakanya, Islam Indonesia adalah Islam yang gampang goyah oleh kepentingan politik sesaat, dan Islam sebagai agama juga mengalami komodifikasi dan eksploitasi kapital-politis- ideologis sehingga makin jauh dari citra, performance dan profil Islam yang beradab dan damai.
Munculnya Islam radikal dan garang pada aksi terorisme dalam tragedi bom Bali, Jakarta, Ambon, Poso dan kota lainnya adalah bukti kuat atas komodifikasi dan eksploitasi ini.
Karena itu, para ekonom, teknokrat dan intelektual epistemis liberal harus menyadari bahwa resistensi Islam tradisionalis NU dan masyarakat madani atas neoliberalisme menyimpan bom waktu di masa depan.
Berbagai kebijakan Neoliberal yang substansinya adalah pengurangan subsidi, privatisasi dan liberalisasi ekonomi, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kehidupan bangsa ini yang mayoritas Muslim dan hidup miskin.
Suatu ketegangan dan konflik kepentingan antara kalangan Neoliberal dan civil society-Islam tradisional hampir pasti akan berlangsung di tengah jalan reformasi yang semakin terjal.
Jika hal itu terjadi, saya khawatir sejarah pertarungan antara penerus neoliberalisme- neoimperialisme versus nasionalisme kerakyatan-populism e religius, sejatinya berulang kembali di Tanah Air, meski mungkin luput dari perhatian publik sehari-hari.
Oleh Herdi Sahrasad
Associate Director Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
*Artikel ini dimuat di harian Bisnis Indonesia, 7 April 2007

CGI, Mafia Berkeley dan Penghapusan Utang


Lawatan Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato Figaredo, ke Indonesia beberapa waktu lalu, menyisakan keputusan penting dari pemerintah Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan, tidak lagi berutang kepada IMF dan menyatakan posisi sebagai equal partner. Selain itu, presiden juga mengeluarkan satu kebijakan penting yakni, membubarkan forum Consultative Groups for Indonesia (CGI) sebagai komitmen untuk kemandirian ekonomi bangsa. Sekaligus, mengungkapkan keinginan untuk mengurangi beban utang dan mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Keputusan ini, oleh banyak kalangan, dinilai cukup mengejutkan. Mengingat prestasi kebijakan pemerintahan SBY-Kalla selama dua tahun, banyak mengekor pada kepentingan asing.
Keputusan mempercepat pelunasan seluruh utang IMF dan membubarkan CGI, sangat tepat secara ekonomi maupun politik. Berdasar pengalaman, utang IMF yang disertai berbagai kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam arus liberalisasi ekonomi yang menjajah dan memiskinkan rakyat. Kondisi tersebut, tercermin dari peningkatan kebangkrutan usaha, kehancuran perbankan nasional, peningkatan pengangguran, serta peningkatan beban utang dalam dan luar negeri dalam selama lima tahun terakhir. Tambahan beban utang dalam dan luar negeri, meningkat menjadi dua kalinya. Kewajiban utang dalam negeri dari semula nol rupiah menjadi Rp 650 triliun (US$ 72 miliar), merupakan bom waktu yang akan menghancurkan perekonomian nasional.
Demikian pula peran CGI di Indonesia. Sejak lama, forum kreditor ini telah sangat dalam mengintervensi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia. Kehadiran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang menggantikan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), telah menjerumuskan Indonesia menjadi negara miskin yang terjebak utang. Kreditur yang tergabung dalam CGI, memberlakukan sejumlah persyaratan untuk memperoleh utang baru yang diajukan pemerintah. Persyaratan ini telah mengambilalih kebijakan anggaran negara (APBN) dan kebijakan strategis lainnya yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Rencana Jahat Mafia Barkeley
Terobosan pembubaran CGI dan percepatan pelunasan utang IMF, sebagai jalan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi, ternyata tidak dikehendaki oleh Mafia Berkeley (MB) di negeri ini. Mereka adalah sekelompok ekonom beraliran neoklasik, yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok MB ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley,” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini, dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation.
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis David Ransom (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem kapialisme global.
Generasi pertama kelompok MB terdiri dari Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka di antaranaya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Budiono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol MB, berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF- Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia, agar sejalan dengan arahan IMF-Bank Dunia, dan USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi kepentingan global. Mekanisme pengaitan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan peraturan pemerintah, tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa Mafia Berkeley enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar utang luar negeri.
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader Mafia Berkeley seperti Menko Ekuin Budiono dan Menkeu Sri Mulyani. Setelah tidak lagi berhubungan dengan CGI, para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan negara kreditor secara bilateral (G to G). Mengingat beberapa negara atau lembaga keuangan internasional, seperti JBIC, ADB, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Islam (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk China, yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit anggaran.
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS (Tajuk Media Indonesia, 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas rata-rata utang per tahun yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar shopping list tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan investasi PLN senilai 13,3 miliar dolar AS sampai 2009 (Republika, 18 Desember 2006).
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, anggaran negara juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunganya tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran CGI, yang dimaksudkan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik bangsa Indonesia.
Mengubah Paradigma
Penyelesaian persoalan utang di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ideologi yang melatarbelakangi para pembuat keputusan dalam mengelola perekonomian. Keinginan untuk mandiri hanya menjadi retorika, jika tidak diiringi dengan perubahan haluan ekonomi nasional, dari yang bercorak neoliberal menjadi antineoliberal. Sebab, segala bentuk transaksi utang, terutama yang berasal dari luar negeri, sejatinya dibuat sebagai bentuk transaksi jual-beli yang hanya menguntungkan pembuat keputusan di negara-negara industri maju dan para elit di negara penerima utang. Selain itu, pinjaman luar negeri juga menyangkut bentuk bantuan teknis, yang diarahkan pada perubahan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah. Tujuannya, memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi perusahaan-perusaha an asing yang berasal dari negara pemberi utang, untuk menguasai perekonomian nasional. Singkatnya, utang luar negeri sudah sejak lama digunakan sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia, dalam menjalankan kolonialisme di berbagai negara dunia ketiga.
Sejalan dengan prinsip kemandirian ekonomi, langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi kebijakan yang telah meliberalisasi sektor keuangan seperti, kebijakan rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Liberalisasi sektor keuangan ini telah mematikan peran intermediary yang melekat pada institusi keuangan termasuk perbankan. Dampaknya telah mematikan potensi sektor riil domestik dan membuat Indonesia semakin tergantung pada kekuatan ekonomi dan produk asing. Keuangan negara juga semakin terbebani, karena harus menanggung bukan saja bunga obligasi rekap tapi, juga pembayaran bunga surat berharga seperti Seritifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Beban ini semakin berat karena pembayaran utang luar negeri (cicilan pokok dan bunganya), sudah sangat membebani alokasi belanja pemerintah dalam APBN.
Kedaulatan dan kemandirian tersebut, hanya mungkin diperoleh jika pemerintah melakukan penghapusan utang Indonesia, membatalkan segala produk kebijakan yang lahir dari hasil intervensi lembaga-lembaga kreditor, meninjau kembali keanggotaan Indonesia di lembaga-lembaga kreditor, dan mulai memikirkan upaya mencari alternatif pembiayaan pembangunan yang tidak berasal dari utang luar negeri.
Berbagai skema penghapusan utang sudah banyak ditawarkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya, membatalkan komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan senilai US$203,75 miliar. Pembatalan tersebut berkorelasi dengan penghentian kewajiban pemerintah, untuk membayar biaya komitmen atas utang yang belum dicairkan. Berdasarkan perhitungan Koalisi Anti Utang sampai tahun 2005, jumlah yang belum dicairkan itu mencapai lebih dari US$24 miliar. Jika hal ini dilakukan pemerintah, terdapat peluang yang cukup leluasa untuk merumuskan kebijakan anggaran negara yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Mafia Berkeley dan Agen Asing

Oleh Kusfiardi
Bisnis Indonesia Sabtu, 28/10/2006
Sehubungan dengan pengembalian dana berjaga-jaga kepada Dana Moneter Internasional (IMF) oleh pemerintah, Franciscus Xaverius Seda dalam wawancara dengan harian ini (Bisnis, 18 Oktober) menilai tindakan tersebut menunjukkan sikap penakut pemerintah, termasuk presidennya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Frans Seda, pemerintah masih mau membayar utang dan tidak mau minta penghapusan utang.
Pemerintah juga tidak mau memanggil semua kreditor untuk menyatakan Indonesia tidak bisa bayar utang dan menyampaikan bahwa semua uang guna membayar utang akan digunakan untuk mengatasi kemiskinan.
Namun, bukan berarti Indonesia harus menghentikan ketergantungan pada utang baru. Menurut dia, pinjaman tetap diperlukan untuk pembangunan dan menghilangkan pengangguran. Apabila ditelusuri pikiran dan tindakan Frans Seda dalam hubungan Indonesia dan IMF serta penghapusan utang, sebenarnya pernyataan tersebut tidaklah istimewa.
Pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda adalah orang yang mengundang IMF datang ke Indonesia. Dia menulis surat kepada Managing Director IMF Schweitzer agar Indonesia kembali menjadi anggota IMF. Dalam surat tersebut, Frans Seda juga meminta agar IMF membantu program pemulihan ekonomi Indonesia yang ketika 1966 mengalami krisis. Sejak itu pula IMF (bersama dengan Bank Dunia) sudah mengendalikan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia sesuai kepentingan negara kaya pemegang saham utama di kedua lembaga ini.
Ketika Indonesia mengalami krisis pada pertengahan 1997 lalu, Frans Seda juga berperan penting, terutama pada saat masa kerja IMF di Indonesia harus berakhir pada 2003. Melalui Sidang Tahunan 2003, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah merekomendasikan agar Pemerintah segera mengakhiri kontrak dengan IMF (Ketetapan MPR No.VI/2002), paling lambat akhir 2003.
Namun, pemerintah Indonesia (pada masa Megawati Soekarno Putri menjabat Presiden) justru memilih memperpanjang masa campur tangan IMF melalui Post Program Monitoring (PPM). Pilihan untuk menjalani PPM tidak terlepas dari peran Mafia Berkeley yang berada di dalam dan di luar pemerintahan.
Kelompok ekonom neoliberal ini berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan keberadaan IMF di Indonesia. Mulai dari para ekonom tua sampai ekonom-ekonom muda generasi penerusnya. Dalam pandangan mereka, pemandoran oleh IMF diperlukan untuk pemulihan perekonomian Indonesia. Di antara Mafia Berkeley tersebut Frans Seda, yang waktu itu menjabat sebagai penasihat presiden ikut berperan dalam memperpanjang masa kerja IMF di Indonesia. Dia waktu itu didukung oleh Dorodjatun Kuntjorojakti dan Boediono, generasi kedua Mafia Berkeley, yang masing-masing menjabat sebagai menko perekonomian dan menteri keuangan.
Para Mafia Berkeley telah berhasil memperpanjang masa intervensi asing melalui keberadaan IMF di negeri ini. Termasuk menjerumuskan Presiden Megawati Soekarnoputri, ke dalam cara berpikir ekonomi ala Mafia Berkeley. Seperti diketahui, Presiden Megawati Soekarnoputri pada sambutannya selaku Ketua Umum PDIP dalam ulang tahun PDIP di Bali, menyatakan siap melaksanakan kebijakan yang tidak populer dan tidak populis. Pernyataan itu menjawab perlawanan rakyat terhadap pelaksanan divestasi PT Indosat, peningkatan harga BBM, tarif listrik dan telepon. Dengan pernyataan itu, Presiden Megawati Soekarnoputri tanpa sadar telah secara resmi memproklamirkan diri sebagai pelindung dan juru bicara para ekonom Mafia Berkeley.
Peran Frans Seda tampaknya memang bukan hanya sebagai penasihat presiden demi mengamankan posisi para ekonom Mafia Berkeley. Tetapi sekaligus mengarahkan cara berpikir Presiden Megawati untuk melindungi dan menjadi juru bicara para ekonom Mafia Berkeley. Dengan demikian, Frans Seda bisa dengan penuh keyakinan menyatakan semua BUMN harus diprivatisasi.
Kedaulatan ekonomi
Dengan beban utang yang ada saat ini maka akan sulit sekali bagi pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi. Penghapusan utang sebenarnya adalah peluang yang menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Sebagaimana pernyataan Frans Seda, kedaulatan ekonomi adalah menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang lahir pada 1945, yaitu ekonomi usaha bersama, negara menguasai semua hajat hidup orang banyak dan penguasaan negara tersebut adalah demi kepentingan orang banyak.
Namun, peluang itu akan sulit diraih jika pemerintah masih bergantung pada utang luar negeri, walaupun dengan alasan utang hanya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, utang yang dibuat oleh pemerintah terdiri dari utang proyek dan utang program. Utang proyek adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk barang dan jasa hasil produksi perusahaan di negara pemberi pinjaman. Utang program adalah pinjaman yang berpotensi memberikan penerimaan dalam bentuk uang, tetapi memiliki syarat yang sangat ketat berkaitan dengan perubahan kebijakan (deregulasi) . Dalam deregulasi yang menjadi persyaratan utang tersebut, pemerintah harus meliberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, menghapuskan segala macam bentuk subsidi, serta menyerahkan pengelolaan barang publik dan pelayanan umum pada swasta melalui privatisasi.
Proses dalam pembuatan utang juga didominasi oleh pihak pemberi utang, yang menentukan bentuk dan peruntukan utang yang dibuat pemerintah Indonesia, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Melihat pada bentuk dan proses pembuatan utang tersebut, maka pinjaman yang diperoleh pemerintah adalah merupakan alat bagi negara pemberi pinjaman (kreditor) untuk mengendalikan dan mengontrol kebijakan pemerintah Indonesia.
Utang sekaligus digunakan juga sebagai alat untuk memasarkan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan di negara mereka. Kemudian utang juga menjadi alat bagi kreditor untuk membuka akses pasar bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan di negara mereka untuk menguasai perekonomian Indonesia. Akumulasi manfaat dari adanya utang dinikmati sepenuhnya oleh perusahaan di negara pemberi utang dalam bentuk akumulasi keuntungan. Selain itu, utang juga menciptakan ketergantungan kepada negara pemberi utang dan membuat perekonomian nasional sangat mudah dipengaruhi oleh kepentingan asing.
Bahkan utang luar negeri telah menabrak kedaulatan ekonomi dalam UUD 1945 yang mengamanatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama, negara menguasai semua hajat hidup orang banyak demi sebesar-besar kepentingan orang banyak.
Menyadari bahwa utang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepentingan rakyat, maka Koalisi Anti Utang selalu mendesak pemerintah untuk menghapus utang lama dan menolak utang baru.
Namun, penghapusan utang ini menurut Frans Seda, seperti disampaikannya dalam rapat konsultasi Panja DPR dengan para mantan menteri keuangan, hanya akan mengurangi harga diri Indonesia di mata Internasional. Bahkan dia bersama ekonom senior Mafia Berkeley lainnya dalam pertemuan tersebut menegaskan bahwa pemerintah harus committed untuk melaksanakan pembayaran utang.
Dengan demikian, sesungguhnya Frans Seda hanya sedang mempropagandakan bentuk lain yang melestarikan ketergantungan terhadap utang luar negeri, kemudian memanipulasinya dengan dalih atas nama kepentingan rakyat. Upaya itu termasuk melestarikan transaksi utang sebagai alat penjajahan gaya baru yang tidak mungkin bisa memberi manfaat kepada rakyat, kecuali demi memudahkan kepentingan modal internasional. Mereka itu adalah perusahaan-perusaha an dari negara-negara pemberi pinjaman (Amerika Serikat dan anggota G-8 lainnya) yang mengeruk keuntungan dari Indonesia. Tampaknya sudah jelas adanya Mafia Berkeley di negeri ini tidak akan berhenti menjadi agen asing.


Thursday, July 19, 2007

Sinergi Sabar dan Shalat


Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al
Baqarah [2]: 155)

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabda
Rasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah
ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai
gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah
gerak dan olah rasa (sensibilitas) . Ketiganya terpadu secara cantik dan
selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling
melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik,
rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional) , dan kepekaan terhadap
jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT. Yang menarik,
Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Misalnya
dalam QS Al Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah
[2] ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?
Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar
(ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai
upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk
mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd [13]: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak
mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam
kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar
selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri
misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkan
syahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat
dari Allah. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan
menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah
kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak
membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama
semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar
bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini
terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu
yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar
dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan
ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak)
merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah
sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian?
Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa
dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan
kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar
menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa
dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa
melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah
kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata
lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang
Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap
optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan,
melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita
harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk
mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat
melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan
syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan
kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik),
inderawi (kecerdasan sensibilitas) , aql, dan pengelolaan nafs menjadi
motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan
memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran
absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr [89]: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu
mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat
adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya
tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang,
tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian
diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh
menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai
media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu
meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan
kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang
meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang
membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy
memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa
yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat.
Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas
itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin
dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi
shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya
kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat
berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan
ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan
kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat
akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang
Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT,
hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan
sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak
kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT
akan terbuka lebar.

Friday, June 29, 2007

FAJAR HASRAT DAN SENJAKALA MORAL

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)


We all come in from the cold
We come down from the wire
An everybody warms themselves
to a different fire

dikutip dari lagu “Breakdown” oleh Guns N’ Roses, album Use Your Illusion II


Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa inilah jaman di mana hasrat mulai menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Inilah pula titik di mana moralitas menjadi absurd, relatif, dan dikembalikan pada masing-masing individu. Sebuah data menarik yang memperkuat asumsi mengenai fenomena eksistensi hasrat adalah rencana terbitnya majalah Playboy Indonesia di Bulan Maret 2006. Tak pelak, rencana itu sudah mengundang reaksi dari kalangan agama. Dua tokoh, Hasyim Muzadi (Ketua umum PBNU) dan Din Syamsudin (Ketua umum PP Muhammadiyah), telah angkat bicara menentang rencana penerbitan Playboy Indonesia.

Hasyim Muzadi mengatakan bahwa rencana itu merupakan penghancuran karakter bangsa secara sistematis. Dia jelaskan sebagai berikut: “Pornografi itu menghancurkan karakter bangsa, mendorong seks bebas dan hidup hedonis yang sangat tidak produktif untuk perkembangan bangsa. Maka pada Maret mendatang kita akan memasuki gerakan moral antipornografi, karena pornografi itu menghancurkan karakter bangsa”. Tak kalah geram, Din Syamsudin mengatakan bahwa rencana penerbitan Playboy Indonesia itu bisa menimbulkan reaksi keras umat Islam. Bukan tak mungkin akan menjadi pemicu bagi ketidak sabaran umat, atas banyaknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat[1].

Terlepas dari kontroversinya, ada sesuatu yang mesti menjadi perenungan semua pihak di sini. Bahwa dalam diri manusia terdapat hasrat. Lebih jauh, manusia adalah mahkluk berhasrat. Mau dibahas dalam rangka survival, seksual, korupsi, politik, pembantaian mengatasnamakan agama atau berbagai perilaku lain; semuanya menunjukkan bahwa manusia lebih merupakan mahkluk berhasrat ketimbang mahkluk berakal budi, apalagi mahkluk beragama, bertuhan, dan sejenisnya yang sering disebut-sebut oleh para tokoh agama itu (yang semuanya tak lebih dari ilusi).

Hasrat itu ada dalam diri manusia dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Akal budi, agama, iman dan hal-hal lain yang selama ini diletakkan sebagai causa prima dalam perilaku manusia, sebenarnya membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus tertentu agar dapat manifes. Ini berbeda dengan hasrat, ia bisa mengambil bentuknya sendiri dan menyesuaikan dengan segala situasi. Hasrat bisa menjadi bak air bah yang tak terbendung dan menghanyutkan manusia tanpa manusia bisa melawannya. Itu terjadi ketika manusia bersikap seolah hasrat bukan sesuatu yang berbahaya, berbuat seolah-olah penyebab segala perilaku nafsani berasal dari stimulus di luar tubuh dan bukan berasal dari dalam tubuh. Fenomena majalah Playboy beserta kegenitan-kegenitan para tokoh yang menggunakan istilah pornografi dan ponoaksi itu, semestinya lebih diarahkan pada kesadaran bahwa refleksi atas keberadaan hasrat itu sendiri lebih penting ketimbang segala aturan yang toh tak konsisten itu.

Selama ini manusia sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang imperatif Sokratean yang di baliknya bersembunyi pula iman yang meletakkan manusia dalam kodrat dasar kemanusiaan, dalam tiga alasan:
Mengukuhkan subjektivitas
memastikan pengetahuan atas dunia
memantapkan posisinya di puncak hirarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan itu, pencarian kodrat selalu meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles menyebut hasrat sebagai komponen rendah dari jiwa manusia yang harus dikendalikan oleh rasio. Plato menuduh hasrat sebagai gangguan badani yang mencegah manusia memalingkan wajah ke matahari kebenaran. Para teoritikus pengetahuan modern mendakwa hasrat sebagai subjektivitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan ilmiah[2].

Rene Descartes memuncaki sejarah pengucilan hasrat pada adagium Cogito Ergo Sum. Manusia pun lantas dibaptis sebagai subjek Cartesian yang sadar penuh, rasional, berjarak, dan senantiasa kritis atas kultur yang bersandar pada ilusi, mitos, dan imajinasi hiperbolis. Lalu, bergandengan dengan moral Yudeo-Kristiani, Subjek Cartesian menggotong hipokrisi epistemologi yang parah. Friedrich Nietzche kemudian dengan jitu menyibak selubung hasrat yang selama ini menutup rapat kesejatian manusia terdalam itu dalam kotak rasionalitas dan moral[3].

Guncangan Nietzche, kemudian dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang mensinyalir bahwa subjek cartesian sebenarnya adalah mahkluk yang menyimpan hasrat libidinal dalam ranah nirsadarnya. Subjek cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak bukanlah kesejatian manusia, melainkan muncul dalam proses perkembangan psikodinamika manusia. Ego Cogito, sebenarnya lebih merupakan reaksi atas proses ekuilibrasi antara hasrat dalam ranah nirsadar dan konstrain budaya[4]. Namun, Freud masih terjebak pada ilusi kemenangan subjek cartesian atas hasrat melalui formasi ego-nya, hingga kemudian Jacques Lacan menunjukkan bahwa hasrat memiliki potensi subversi atas ego. Lacan justru melihat kerapuhan ego yang selama ini diagung-agungkan para penganut psikologi ego. Lacan menunjukkan ketergantungan ego pada hasrat-hasrat yang menginfiltrasinya dari medan sosial.

Inilah konteks yang mesti kita renungkan dalam kasus majalah Playboy. Di balik segala topeng ego (“Aku manusia berkarakter Indonesia”, “Aku adalah orang Timur”, “Aku adalah umat Islam”, dan sejenisnya) yang dikonstruksi sebagai jenis orang-orang yang menolak pornografi; tersembunyilah hasrat. Jika Playboy jadi terbit, mereka-mereka yang mengenakan topeng ego itupun akan mengonsumsinya juga. Ini karena ego tak lebih adalah penyesuaian dengan konstrain budaya. Manusia memakai topeng ego hanya agar bisa menyesuaikan tampilan dengan budaya di mana dia hidup, selebihnya, di balik segala topeng itu hasratlah yang memegang peranan. Seringkali bahkan manusia justru tak punya malu dalam menggunakan topeng-topeng ego itu untuk menutupi betapa sesungguhnya ia adalah mahluk dengan hasrat besar, seperti terlihat dalam kasus Rhoma Irama yang kembali mempersoalkan goyang Inul seolah masyarakat lupa kasusnya menikahi Angel Lelga yang belum lama berlalu.

Subjek Cartesian yang sempurna pada dirinya tak lebih dari ilusi. Topeng-topeng Ego Cogito yang dibangun di atas pengucian hasrat terbukti, justru tak lepas dari campur tangan hasrat untuk kepuasannya dengan cara memiliki identitas. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia sebagai ‘yang selalu berkekurangan’. Tafsir kritis atas psikoanalisis-struktural Jacques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat sang hasrat.
hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, karena ia [tetap] bekerja saat kekurangan biologis tercukupi.
hasrat jauh dari dominasi ego cogito, hasrat justru merupakan syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri.
hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahkluk yang berkekurangan secara eksistensial[5].
Kekurangan inilah yang memunculkan hasrat untuk memiliki dan hasrat untuk menjadi. Orang ingin menjadi sesuatu, orang ingin memiliki sesuatu, semuanya karena hasrat.

Hal inilah yang membuat produk-produk seperti Playboy atau banyak majalah yang mengumbar seksualitas lain bisa eksis di pasaran media di Indonesia saat ini. Manusia memang membutuhkan untuk memuaskan hasratnya. Jika dalam kehidupan nyata mereka tak bisa memiliki perempuan-perempuan dengan bentuk tubuh menggiurkan itu, maka dalam alam imaji mereka bisa memenuhinya, dan majalah-majalah itulah jalan keluarnya. Bahkan agamapun, sama juga seperti majalah Playboy, dibutuhkan sebagai sarana untuk memperlancar pemuasan hasrat, karena dengan agama orang bisa menikah siri diam-diam seperti Rhoma Irama dan Angel Lelga atau Jackson dan Cut Memey, untuk kemudian bercerai setelah memeroleh pemuasan hasrat seksual terhadap objek yang diinginkan.

Lalu, perlu dipertanyakan lagi. Efektifkah sebuah pelarangan sementara apa yang menjadi persoalan justru ada dalam diri manusia itu sendiri. Pelarangan hanya menangguhkan hasrat untuk kemudian membuatnya mengambil bentuk lain sebagai manifestasi pemuasannya. Ada atau tidaknya majalah Playboy bukanlah masalah sesungguhnya, karena di televisi, di kios-kios majalah, dan banyak hal di sekitar manusia terdapat substitusi dari majalah Playboy; justru masalah pengendalian hasratlah yang semestinya diberi perhatian lebih ketimbang pelarangan ini-itu. Menyadari hasrat yang ada dalam diri manusialah yang sebenarnya penting, karena dengan menyadari keberadaannya, maka manusia bisa mewaspadainya. Sebaliknya, dengan bersembunyi di balik term-term seperti: Karakter bangsa, Adat ketimuran, Tidak sesuai dengan agama, Tidak sesuai dengan Islam dan sejenisnya, justru membodohi dan menganggap bahwa seolah-olah hasrat itu tak ada dalam diri manusia.

Era ini adalah era di mana hasrat mengalir ke segala arah dan mulai menenggelamkan segala berhala-berhala yang selama ini ditempatkan sebagai simbol moralitas. Agama, Undang-undang, Nilai Budaya, dan segala hal-hal yang selama ini ditempatkan sebagai logos atau pusat kebenaran, sudah runtuh dan manusia mesti menyelematkan moralitasnya sendiri-sendiri agar tak terseret dan tenggelam oleh arus hasratnya. Ini adalah jaman di mana hanya ada sedikit waktu bagi semua orangtua untuk mempersiapkan anaknya agar mereka tak terhanyut dan tenggelam dalam permainan hasrat yang ditawarkan di kios-kios majalah, di toko buku, di internet dan di banyak sudut kehidupan dalam masyarakat. Apa yang lebih penting adalah mempersiapkan moralitas individu agar ia siap dan mawas akan hasrat di dalam dirinya dan bukan mencari-cari penyebab yang justru mengaburkan persoalan sebenarnya.



CATATAN-CATATAN:

[1] “Penolakan buat si ‘Kelinci’; Media Indonesia edisi Minggu, 22 Januari 2006/No. 9168/ Tahun XXXVIII, hal. 3
[2] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[3] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[4] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; xxxii-xxxiii
[5] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xlii-xliii



© Audifax – 24 Januari 2006

Friday, June 22, 2007

USA CIA GENT JONES BACK TO HER OLD TRICKS!























CIA Agent Sidney Jones 'It's all in the wrist Action.' An old report says CIA agent Sidney Jones is another one of those "alleged terrorism experts" working for the USA and remains an active security threat with more than 10,000 members.
No Western analyst knows more about Sidney Jones in Indonesia than the International Crisis Group Indymedia.

Our old report on Jones and the terrorist organisation the CIA, who are cleverly disguised as a South-East Asia director for an International Crisis Group, that spends most of their time giving sermons to Australia about a pseudonym called 'Jemaah Islamiya', a fictitious scapegoat group made up by the Americans.

Even members who have been out of contact for years are likely to be respond to calls to action from their CIA leaders.

Recent arrests have revealed the formation of what the report calls "special forces units" or "hit squads" focusing more on assassinating the general public and planning a another big Bali bombing attack, says the report.

The CIA operatives remain active even in Guantanamo Bay prison where extremists like George W Bush are likely to be radicalising less militant CIA members.

In Other Developments:

JI network still an active security threat: analyst?
By Geoff Thompson.


John Howard's ABC A new report says Indonesia's Jemaah Islamiah (JI) terrorist network remains an active security threat with more than 900 members spread across the country.

No Western analyst knows more about Jemaah Islamiah in Indonesia than the International Crisis Group's (ICC) Sidney Jones (sering jadi narasumber media2 indonesia berkenaan dengan isu terorisme).

Her new report on the terrorist organisation's current status estimates that there are still at least 900 JI members active across the archipelago from Aceh to the island of Flores.

Even members who have been out of contact for years are likely to be respond to calls to action from their JI leaders.
Recent arrests have revealed the formation of what the report calls "special forces units" or "hit squads" focusing more on assassinating public officials than planning a another big Bali bombing attack, says the report.
JI operatives remain active even in high-security prisons where extremists like the original Bali bombers are likely to be radicalising less militant JI members.
Related:

CIA agent returns to Indonesia last July?
But don't believe a word she says because she my friends is a typical CIA agent. Sent to Indonesia to promote some type legitimacy to the alleged 'war on terror' and her 'radical statements' and 'terrorist theories'. And together with her spy mates and the pro-government media who seek to give her relevance because her job is to point the finger to have everyone look the wrong way, at the wrong enemy.

CIA agent spreads terror fears in Australia
Why shouldn't you be convinced after all gunaratna says he's a dr and reported to be a 'terrorist expert'? He even lives in Indonesia surrounded by bombs going off in his own backyard. But even with his alleged expertise it has only led to even more relentless and 'subsequent bombings' in Indonesia. So I suppose that's how you know you need an expert?


hoWARd, will keep chilling you!
All this nonsense to hide the fact that the Bali bombing was not State Sanctioned Terror when it clearly was in relation to the explosive used in the second Bali bomb blast in 2002 which was clearly military hardware. More:

Aussie ministers plot to kill dissent
Sure, we should be really angry now, that these terrorists should plot to blow up the Bali mourners! And that should buy hoWARd the coward a free kick to any draconian laws that he now seeks to enforce, based on the communities deep emotions, anguish and fears of another attack?

Australia's Terrorism Wake Up Call [164]
The horrific bombings of the Sari Club and Paddy's Bar in Bali, on October 12, 2002, considerably strengthened the hand of the CoW in pursuing the War on Terror. Here was an opportunity to harden the hearts of the Australian and US public against Islamic fundamentalists. It was also a chance for the Indonesian government to justify harsh measures in the war against terrorists and secessionists, such at those in the province of Aceh.
Find More articles in
Pandai-pandailah Membaca Peta!
Jangan asal tunjuk,asal vonis,asal bicara !


IQRO!MORE THAN JUST READING

Wednesday, June 20, 2007

Sex as Sadaqa

An excerpt from 'The Muslim Marriage Guide', By Ruqaiyyah Waris Maqsood (Amana Publications).

"Women shall have rights similar to the rights upon them; according to what is equitable and just; and men have a degree of advantage over them." (Quran, 2:216)

They do indeed! This passage of the Holy Quran was revealed in connection with the rights of women following a divorce, but it also has a general sense. One basic right of every person taking on a contract never to have sex other than with their own legitimate partner is that each spouse should therefore provide sexual fulfillment (imta') to the other, as part of the bargain.

Now, every man knows what sexual things please him--but some men, particularly those who have not been married before and are therefore lacking experience, don't seem to know much about how to give the same pleasure to the woman; even worse, some men do know but they can't be bothered to make the effort. Yet this is vital if a marriage is to succeed and not just be a disappointing burden for the woman, and it is a vital part of one's Islamic duty.

It is not acceptable for a Muslim man just to satisfy himself while ignoring his wife's needs. Experts agree that the basic psychological need of a man is respect, while that of a woman is love. Neither respect nor love are things that can be forced--they have to be worked for, and earned. The Prophet (s) stated that in one's sexual intimacy with one's life partner there is sadaqa (worship through giving):

Allah's Messenger (pbuh) said: "In the sexual act of each of you there is a sadaqa." The Companions replied: "O Messenger of Allah! When one of us fulfils his sexual desire, will he be given a reward for that?" And he said, "Do you not think that were he to act upon it unlawfully, he would be sinning? Likewise, if he acts upon it lawfully he will be rewarded." (Muslim)

This hadith only makes sense if the sexual act is raised above the mere animal level.

What is the magic ingredient that turns sex into sadaqa, that makes it a matter of reward or punishment from Allah? It is by making one's sex life more than simple physical gratification; it is by thought for pleasing Allah by unselfish care for one's partner. A husband that cannot understand this will never be fully respected by his wife.

Neither spouse should ever act in a manner that would be injurious or harmful to their conjugal life. Nikah is the sacred tie between husband and wife, that sincere and devoted love without which they cannot attain happiness and peace of mind.

"Of His signs is this: that He created for you spouses that you might find rest in them, and He ordained between you love and mercy." (Quran, 30:21)

Now, every Muslim knows that a man has a right on his wife. However, because nikah is a contract never to seek sexual satisfaction outside the marriage bond, Islam commands not only the women but the men in this respect, and makes it clear that if a husband is not aware of the urges and needs of his wife, he will be committing a sin by depriving her of her rights.

According to all four orthodox jurists, it is incumbent upon the husband to keep his wife happy and pleased in this respect. Likewise, it is essential for the wife to satisfy the desire of the husband. Neither should reject the other, unless there is some lawful excuse.

Now, it is fairly easy for a woman to satisfy a man and make herself available to him, even if she is not really in the mood. It is far harder for a man to satisfy a woman if he is not in the mood, and this is where an important aspect of male responsibility needs to be brought to every Muslim man's attention, and stressed strongly.

The jurists believed that a woman's private parts needed "protecting" (tahsin). What they meant was that it was important for a Muslim husband to satisfy his wife's sexual needs so that she would not be tempted to commit zina out of despair or frustration.

A Muslim wife is not merely a lump of flesh without emotions or feelings, just there to satisfy a man's natural urges. On the contrary, her body contains a soul no less important in God's sight than her husband's. Her heart is very tender and delicate, and crude or rough manners would hurt her feelings and drive away love. The husband would be both foolish and immoral to act in any way unpalatable to her natural temperament, and a man selfishly seeking his own satisfaction without considering that of his wife is a selfish boor. In fact, according to a hadith:

"Three things are counted as inadequacies in a man. Firstly, meeting someone he would like to get to know, and taking leave of him before learning his name and his family. Secondly, rebuffing the generosity that another shows to him. And thirdly, going to his wife and having intercourse with her before talking to her and gaining her intimacy, satisfying his need from her before she has satisfied her need from him." (Daylami)

This is another of the things implied by the saying that one's wife is "a tilth unto you." (Quran, 2:223) The imagery is that of a farmer taking care of his fields. According to Mawlana Abul-Ala Mawdudi:

"The farmer sows the seed in order to reap the harvest, but he does not sow it out of season or cultivate it in a manner which will injure or exhaust the soil. He is wise and considerate, and does not run riot." (Afzalur Rahman, Quranic Sciences, London 1981, p.285)

Likewise, in the case of husband and wife, the husband should not just:

“Take hold of his wife and rub the seed and finish the business of procreation. The damage in this case could sometimes be irreparable, because a woman, unlike a farm, is very sensitive and has emotions, feelings, and strong passions which need full satisfaction and attention in a proper and appropriate manner.” (Afzalur Rahman, Quranic Sciences, London 1981, p. 286)

If this is not taken into consideration, and the wife is not properly prepared to start lovemaking, or is unsatisfied when it is finished, there could be many psychological and physiological complications leading to frigidity and other abnormalities. Indeed, many husbands eventually become disappointed with their wives, believing them to be frigid or unable to respond to their activities (unlike the sirens on the film or TV screen), and they wonder what is wrong with them. A possible explanation will follow in a moment.

Allah created male and female from a single soul in order that man might live with her in serenity (Quran, 7:189), and not in unhappiness, frustration and strife. If your marriage is frankly awful, then you must ask yourself how such a desperate and tragic scenario could be regarded by anyone as "half the Faith." According to a hadith:

"Not one of you should fall upon his wife like an animal; but let there first be a messenger between you." "And what is that messenger?" they asked, and he replied: "Kisses and words." (Daylami)

These "kisses and words" do not just include foreplay once intimacy has commenced. To set the right mood, little signals should begin well in advance, so that the wife has a clue as to what is coming, and is pleasantly expectant, and also has adequate time to make herself clean, attractive and ready. As regards intimacy itself, all men know that they cannot achieve sexual fulfillment if they are not aroused. They should also realise that it is actually harmful and painful for the female organs to be used for sex without proper preparation. In simple biological terms, the woman's private parts need a kind of natural lubrication before the sexual act takes place. For this, Allah has created special glands, known to modern doctors as the Bartholin glands, which provide the necessary "oils."

It is still possible to read old-fashioned advice to husbands that a desirable wife should be "dry"--which is remarkable ignorance and makes one really grieve for the poor wives of such inconsiderate men. Just as no one would dream of trying to run an engine without the correct lubricating fluids, it is the same, through the creative will of Allah, with the parts of the female body designed for sexual intimacy. A husband should know how to stimulate the production of these "oils" in his wife, or at the very least allow her to use some artificial "oils." This lack of knowledge or consideration is where so many marital problems frequently arise.

As Imam al-Ghazali says: "Sex should begin with gentle words and kissing," and Imam al-Zabidi adds: "This should include not only the cheeks and lips; and then he should caress the breasts and nipples, and every part of her body." (Zabidi, Ithaf al-Sada al Muttaqin, V 372) Most men will not need telling this; but it should be remembered that failure to observe this Islamic practice is to neglect or deny the way Allah has created women.

Insulting a wife with bad marital manners

Firstly, a husband must overcome his shyness enough to actually look at his wife, and pay attention to her. If he cannot bring himself to follow this sunna, it is an insult to her, and extremely hurtful. Personal intimacy is a minefield of opportunities to hurt each other--glancing at the watch, a yawn at the wrong moment, appearing bored, and so on. A husband's duty is to convince his wife that he does love her--and this can only be done by word (constantly repeated word, I might add--such is the irritating nature of women!), and by looking and touching.

Many people believe that the expression in the eyes reveals much of the human soul. Certainly the lover's gaze is a most endearing and treasured thing. Many wives yearn for that gaze of love, even after they have been married for years. If you cannot bring yourself to look at her while paying attention to her, she can only interpret this as a sign that you do not really love her. And even though it may be irritating to you, and seem quite superfluous, most women are deeply moved when a man actually tells her that he loves her.

Sex is clean!

A modest upbringing is part of good character. The Prophet (s) himself said: "Modesty brings nothing but good." (Bukhari and Muslim) But another, also important, part of Islamic teaching says that all of Allah's creation is beautiful and pure, particularly when it is part of the body of human beings, who are designed as His deputies upon the earth. In some religions, people traditionally believed that the woman's private parts are in some way unclean, or dirty, or even evi