FAJAR HASRAT DAN SENJAKALA MORAL
OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)
We all come in from the cold
We come down from the wire
An everybody warms themselves
to a different fire
dikutip dari lagu “Breakdown” oleh Guns N’ Roses, album Use Your Illusion II
Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa inilah jaman di mana hasrat mulai menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Inilah pula titik di mana moralitas menjadi absurd, relatif, dan dikembalikan pada masing-masing individu. Sebuah data menarik yang memperkuat asumsi mengenai fenomena eksistensi hasrat adalah rencana terbitnya majalah Playboy Indonesia di Bulan Maret 2006. Tak pelak, rencana itu sudah mengundang reaksi dari kalangan agama. Dua tokoh, Hasyim Muzadi (Ketua umum PBNU) dan Din Syamsudin (Ketua umum PP Muhammadiyah), telah angkat bicara menentang rencana penerbitan Playboy Indonesia.
Hasyim Muzadi mengatakan bahwa rencana itu merupakan penghancuran karakter bangsa secara sistematis. Dia jelaskan sebagai berikut: “Pornografi itu menghancurkan karakter bangsa, mendorong seks bebas dan hidup hedonis yang sangat tidak produktif untuk perkembangan bangsa. Maka pada Maret mendatang kita akan memasuki gerakan moral antipornografi, karena pornografi itu menghancurkan karakter bangsa”. Tak kalah geram, Din Syamsudin mengatakan bahwa rencana penerbitan Playboy Indonesia itu bisa menimbulkan reaksi keras umat Islam. Bukan tak mungkin akan menjadi pemicu bagi ketidak sabaran umat, atas banyaknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat[1].
Terlepas dari kontroversinya, ada sesuatu yang mesti menjadi perenungan semua pihak di sini. Bahwa dalam diri manusia terdapat hasrat. Lebih jauh, manusia adalah mahkluk berhasrat. Mau dibahas dalam rangka survival, seksual, korupsi, politik, pembantaian mengatasnamakan agama atau berbagai perilaku lain; semuanya menunjukkan bahwa manusia lebih merupakan mahkluk berhasrat ketimbang mahkluk berakal budi, apalagi mahkluk beragama, bertuhan, dan sejenisnya yang sering disebut-sebut oleh para tokoh agama itu (yang semuanya tak lebih dari ilusi).
Hasrat itu ada dalam diri manusia dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Akal budi, agama, iman dan hal-hal lain yang selama ini diletakkan sebagai causa prima dalam perilaku manusia, sebenarnya membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus tertentu agar dapat manifes. Ini berbeda dengan hasrat, ia bisa mengambil bentuknya sendiri dan menyesuaikan dengan segala situasi. Hasrat bisa menjadi bak air bah yang tak terbendung dan menghanyutkan manusia tanpa manusia bisa melawannya. Itu terjadi ketika manusia bersikap seolah hasrat bukan sesuatu yang berbahaya, berbuat seolah-olah penyebab segala perilaku nafsani berasal dari stimulus di luar tubuh dan bukan berasal dari dalam tubuh. Fenomena majalah Playboy beserta kegenitan-kegenitan para tokoh yang menggunakan istilah pornografi dan ponoaksi itu, semestinya lebih diarahkan pada kesadaran bahwa refleksi atas keberadaan hasrat itu sendiri lebih penting ketimbang segala aturan yang toh tak konsisten itu.
Selama ini manusia sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang imperatif Sokratean yang di baliknya bersembunyi pula iman yang meletakkan manusia dalam kodrat dasar kemanusiaan, dalam tiga alasan:
Mengukuhkan subjektivitas
memastikan pengetahuan atas dunia
memantapkan posisinya di puncak hirarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan itu, pencarian kodrat selalu meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles menyebut hasrat sebagai komponen rendah dari jiwa manusia yang harus dikendalikan oleh rasio. Plato menuduh hasrat sebagai gangguan badani yang mencegah manusia memalingkan wajah ke matahari kebenaran. Para teoritikus pengetahuan modern mendakwa hasrat sebagai subjektivitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan ilmiah[2].
Rene Descartes memuncaki sejarah pengucilan hasrat pada adagium Cogito Ergo Sum. Manusia pun lantas dibaptis sebagai subjek Cartesian yang sadar penuh, rasional, berjarak, dan senantiasa kritis atas kultur yang bersandar pada ilusi, mitos, dan imajinasi hiperbolis. Lalu, bergandengan dengan moral Yudeo-Kristiani, Subjek Cartesian menggotong hipokrisi epistemologi yang parah. Friedrich Nietzche kemudian dengan jitu menyibak selubung hasrat yang selama ini menutup rapat kesejatian manusia terdalam itu dalam kotak rasionalitas dan moral[3].
Guncangan Nietzche, kemudian dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang mensinyalir bahwa subjek cartesian sebenarnya adalah mahkluk yang menyimpan hasrat libidinal dalam ranah nirsadarnya. Subjek cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak bukanlah kesejatian manusia, melainkan muncul dalam proses perkembangan psikodinamika manusia. Ego Cogito, sebenarnya lebih merupakan reaksi atas proses ekuilibrasi antara hasrat dalam ranah nirsadar dan konstrain budaya[4]. Namun, Freud masih terjebak pada ilusi kemenangan subjek cartesian atas hasrat melalui formasi ego-nya, hingga kemudian Jacques Lacan menunjukkan bahwa hasrat memiliki potensi subversi atas ego. Lacan justru melihat kerapuhan ego yang selama ini diagung-agungkan para penganut psikologi ego. Lacan menunjukkan ketergantungan ego pada hasrat-hasrat yang menginfiltrasinya dari medan sosial.
Inilah konteks yang mesti kita renungkan dalam kasus majalah Playboy. Di balik segala topeng ego (“Aku manusia berkarakter Indonesia”, “Aku adalah orang Timur”, “Aku adalah umat Islam”, dan sejenisnya) yang dikonstruksi sebagai jenis orang-orang yang menolak pornografi; tersembunyilah hasrat. Jika Playboy jadi terbit, mereka-mereka yang mengenakan topeng ego itupun akan mengonsumsinya juga. Ini karena ego tak lebih adalah penyesuaian dengan konstrain budaya. Manusia memakai topeng ego hanya agar bisa menyesuaikan tampilan dengan budaya di mana dia hidup, selebihnya, di balik segala topeng itu hasratlah yang memegang peranan. Seringkali bahkan manusia justru tak punya malu dalam menggunakan topeng-topeng ego itu untuk menutupi betapa sesungguhnya ia adalah mahluk dengan hasrat besar, seperti terlihat dalam kasus Rhoma Irama yang kembali mempersoalkan goyang Inul seolah masyarakat lupa kasusnya menikahi Angel Lelga yang belum lama berlalu.
Subjek Cartesian yang sempurna pada dirinya tak lebih dari ilusi. Topeng-topeng Ego Cogito yang dibangun di atas pengucian hasrat terbukti, justru tak lepas dari campur tangan hasrat untuk kepuasannya dengan cara memiliki identitas. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia sebagai ‘yang selalu berkekurangan’. Tafsir kritis atas psikoanalisis-struktural Jacques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat sang hasrat.
hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, karena ia [tetap] bekerja saat kekurangan biologis tercukupi.
hasrat jauh dari dominasi ego cogito, hasrat justru merupakan syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri.
hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahkluk yang berkekurangan secara eksistensial[5].
Kekurangan inilah yang memunculkan hasrat untuk memiliki dan hasrat untuk menjadi. Orang ingin menjadi sesuatu, orang ingin memiliki sesuatu, semuanya karena hasrat.
Hal inilah yang membuat produk-produk seperti Playboy atau banyak majalah yang mengumbar seksualitas lain bisa eksis di pasaran media di Indonesia saat ini. Manusia memang membutuhkan untuk memuaskan hasratnya. Jika dalam kehidupan nyata mereka tak bisa memiliki perempuan-perempuan dengan bentuk tubuh menggiurkan itu, maka dalam alam imaji mereka bisa memenuhinya, dan majalah-majalah itulah jalan keluarnya. Bahkan agamapun, sama juga seperti majalah Playboy, dibutuhkan sebagai sarana untuk memperlancar pemuasan hasrat, karena dengan agama orang bisa menikah siri diam-diam seperti Rhoma Irama dan Angel Lelga atau Jackson dan Cut Memey, untuk kemudian bercerai setelah memeroleh pemuasan hasrat seksual terhadap objek yang diinginkan.
Lalu, perlu dipertanyakan lagi. Efektifkah sebuah pelarangan sementara apa yang menjadi persoalan justru ada dalam diri manusia itu sendiri. Pelarangan hanya menangguhkan hasrat untuk kemudian membuatnya mengambil bentuk lain sebagai manifestasi pemuasannya. Ada atau tidaknya majalah Playboy bukanlah masalah sesungguhnya, karena di televisi, di kios-kios majalah, dan banyak hal di sekitar manusia terdapat substitusi dari majalah Playboy; justru masalah pengendalian hasratlah yang semestinya diberi perhatian lebih ketimbang pelarangan ini-itu. Menyadari hasrat yang ada dalam diri manusialah yang sebenarnya penting, karena dengan menyadari keberadaannya, maka manusia bisa mewaspadainya. Sebaliknya, dengan bersembunyi di balik term-term seperti: Karakter bangsa, Adat ketimuran, Tidak sesuai dengan agama, Tidak sesuai dengan Islam dan sejenisnya, justru membodohi dan menganggap bahwa seolah-olah hasrat itu tak ada dalam diri manusia.
Era ini adalah era di mana hasrat mengalir ke segala arah dan mulai menenggelamkan segala berhala-berhala yang selama ini ditempatkan sebagai simbol moralitas. Agama, Undang-undang, Nilai Budaya, dan segala hal-hal yang selama ini ditempatkan sebagai logos atau pusat kebenaran, sudah runtuh dan manusia mesti menyelematkan moralitasnya sendiri-sendiri agar tak terseret dan tenggelam oleh arus hasratnya. Ini adalah jaman di mana hanya ada sedikit waktu bagi semua orangtua untuk mempersiapkan anaknya agar mereka tak terhanyut dan tenggelam dalam permainan hasrat yang ditawarkan di kios-kios majalah, di toko buku, di internet dan di banyak sudut kehidupan dalam masyarakat. Apa yang lebih penting adalah mempersiapkan moralitas individu agar ia siap dan mawas akan hasrat di dalam dirinya dan bukan mencari-cari penyebab yang justru mengaburkan persoalan sebenarnya.
CATATAN-CATATAN:
[1] “Penolakan buat si ‘Kelinci’; Media Indonesia edisi Minggu, 22 Januari 2006/No. 9168/ Tahun XXXVIII, hal. 3
[2] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[3] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[4] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; xxxii-xxxiii
[5] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xlii-xliii
© Audifax – 24 Januari 2006
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)
We all come in from the cold
We come down from the wire
An everybody warms themselves
to a different fire
dikutip dari lagu “Breakdown” oleh Guns N’ Roses, album Use Your Illusion II
Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa inilah jaman di mana hasrat mulai menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Inilah pula titik di mana moralitas menjadi absurd, relatif, dan dikembalikan pada masing-masing individu. Sebuah data menarik yang memperkuat asumsi mengenai fenomena eksistensi hasrat adalah rencana terbitnya majalah Playboy Indonesia di Bulan Maret 2006. Tak pelak, rencana itu sudah mengundang reaksi dari kalangan agama. Dua tokoh, Hasyim Muzadi (Ketua umum PBNU) dan Din Syamsudin (Ketua umum PP Muhammadiyah), telah angkat bicara menentang rencana penerbitan Playboy Indonesia.
Hasyim Muzadi mengatakan bahwa rencana itu merupakan penghancuran karakter bangsa secara sistematis. Dia jelaskan sebagai berikut: “Pornografi itu menghancurkan karakter bangsa, mendorong seks bebas dan hidup hedonis yang sangat tidak produktif untuk perkembangan bangsa. Maka pada Maret mendatang kita akan memasuki gerakan moral antipornografi, karena pornografi itu menghancurkan karakter bangsa”. Tak kalah geram, Din Syamsudin mengatakan bahwa rencana penerbitan Playboy Indonesia itu bisa menimbulkan reaksi keras umat Islam. Bukan tak mungkin akan menjadi pemicu bagi ketidak sabaran umat, atas banyaknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat[1].
Terlepas dari kontroversinya, ada sesuatu yang mesti menjadi perenungan semua pihak di sini. Bahwa dalam diri manusia terdapat hasrat. Lebih jauh, manusia adalah mahkluk berhasrat. Mau dibahas dalam rangka survival, seksual, korupsi, politik, pembantaian mengatasnamakan agama atau berbagai perilaku lain; semuanya menunjukkan bahwa manusia lebih merupakan mahkluk berhasrat ketimbang mahkluk berakal budi, apalagi mahkluk beragama, bertuhan, dan sejenisnya yang sering disebut-sebut oleh para tokoh agama itu (yang semuanya tak lebih dari ilusi).
Hasrat itu ada dalam diri manusia dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Akal budi, agama, iman dan hal-hal lain yang selama ini diletakkan sebagai causa prima dalam perilaku manusia, sebenarnya membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus tertentu agar dapat manifes. Ini berbeda dengan hasrat, ia bisa mengambil bentuknya sendiri dan menyesuaikan dengan segala situasi. Hasrat bisa menjadi bak air bah yang tak terbendung dan menghanyutkan manusia tanpa manusia bisa melawannya. Itu terjadi ketika manusia bersikap seolah hasrat bukan sesuatu yang berbahaya, berbuat seolah-olah penyebab segala perilaku nafsani berasal dari stimulus di luar tubuh dan bukan berasal dari dalam tubuh. Fenomena majalah Playboy beserta kegenitan-kegenitan para tokoh yang menggunakan istilah pornografi dan ponoaksi itu, semestinya lebih diarahkan pada kesadaran bahwa refleksi atas keberadaan hasrat itu sendiri lebih penting ketimbang segala aturan yang toh tak konsisten itu.
Selama ini manusia sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang imperatif Sokratean yang di baliknya bersembunyi pula iman yang meletakkan manusia dalam kodrat dasar kemanusiaan, dalam tiga alasan:
Mengukuhkan subjektivitas
memastikan pengetahuan atas dunia
memantapkan posisinya di puncak hirarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan itu, pencarian kodrat selalu meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles menyebut hasrat sebagai komponen rendah dari jiwa manusia yang harus dikendalikan oleh rasio. Plato menuduh hasrat sebagai gangguan badani yang mencegah manusia memalingkan wajah ke matahari kebenaran. Para teoritikus pengetahuan modern mendakwa hasrat sebagai subjektivitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan ilmiah[2].
Rene Descartes memuncaki sejarah pengucilan hasrat pada adagium Cogito Ergo Sum. Manusia pun lantas dibaptis sebagai subjek Cartesian yang sadar penuh, rasional, berjarak, dan senantiasa kritis atas kultur yang bersandar pada ilusi, mitos, dan imajinasi hiperbolis. Lalu, bergandengan dengan moral Yudeo-Kristiani, Subjek Cartesian menggotong hipokrisi epistemologi yang parah. Friedrich Nietzche kemudian dengan jitu menyibak selubung hasrat yang selama ini menutup rapat kesejatian manusia terdalam itu dalam kotak rasionalitas dan moral[3].
Guncangan Nietzche, kemudian dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang mensinyalir bahwa subjek cartesian sebenarnya adalah mahkluk yang menyimpan hasrat libidinal dalam ranah nirsadarnya. Subjek cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak bukanlah kesejatian manusia, melainkan muncul dalam proses perkembangan psikodinamika manusia. Ego Cogito, sebenarnya lebih merupakan reaksi atas proses ekuilibrasi antara hasrat dalam ranah nirsadar dan konstrain budaya[4]. Namun, Freud masih terjebak pada ilusi kemenangan subjek cartesian atas hasrat melalui formasi ego-nya, hingga kemudian Jacques Lacan menunjukkan bahwa hasrat memiliki potensi subversi atas ego. Lacan justru melihat kerapuhan ego yang selama ini diagung-agungkan para penganut psikologi ego. Lacan menunjukkan ketergantungan ego pada hasrat-hasrat yang menginfiltrasinya dari medan sosial.
Inilah konteks yang mesti kita renungkan dalam kasus majalah Playboy. Di balik segala topeng ego (“Aku manusia berkarakter Indonesia”, “Aku adalah orang Timur”, “Aku adalah umat Islam”, dan sejenisnya) yang dikonstruksi sebagai jenis orang-orang yang menolak pornografi; tersembunyilah hasrat. Jika Playboy jadi terbit, mereka-mereka yang mengenakan topeng ego itupun akan mengonsumsinya juga. Ini karena ego tak lebih adalah penyesuaian dengan konstrain budaya. Manusia memakai topeng ego hanya agar bisa menyesuaikan tampilan dengan budaya di mana dia hidup, selebihnya, di balik segala topeng itu hasratlah yang memegang peranan. Seringkali bahkan manusia justru tak punya malu dalam menggunakan topeng-topeng ego itu untuk menutupi betapa sesungguhnya ia adalah mahluk dengan hasrat besar, seperti terlihat dalam kasus Rhoma Irama yang kembali mempersoalkan goyang Inul seolah masyarakat lupa kasusnya menikahi Angel Lelga yang belum lama berlalu.
Subjek Cartesian yang sempurna pada dirinya tak lebih dari ilusi. Topeng-topeng Ego Cogito yang dibangun di atas pengucian hasrat terbukti, justru tak lepas dari campur tangan hasrat untuk kepuasannya dengan cara memiliki identitas. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia sebagai ‘yang selalu berkekurangan’. Tafsir kritis atas psikoanalisis-struktural Jacques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat sang hasrat.
hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, karena ia [tetap] bekerja saat kekurangan biologis tercukupi.
hasrat jauh dari dominasi ego cogito, hasrat justru merupakan syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri.
hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahkluk yang berkekurangan secara eksistensial[5].
Kekurangan inilah yang memunculkan hasrat untuk memiliki dan hasrat untuk menjadi. Orang ingin menjadi sesuatu, orang ingin memiliki sesuatu, semuanya karena hasrat.
Hal inilah yang membuat produk-produk seperti Playboy atau banyak majalah yang mengumbar seksualitas lain bisa eksis di pasaran media di Indonesia saat ini. Manusia memang membutuhkan untuk memuaskan hasratnya. Jika dalam kehidupan nyata mereka tak bisa memiliki perempuan-perempuan dengan bentuk tubuh menggiurkan itu, maka dalam alam imaji mereka bisa memenuhinya, dan majalah-majalah itulah jalan keluarnya. Bahkan agamapun, sama juga seperti majalah Playboy, dibutuhkan sebagai sarana untuk memperlancar pemuasan hasrat, karena dengan agama orang bisa menikah siri diam-diam seperti Rhoma Irama dan Angel Lelga atau Jackson dan Cut Memey, untuk kemudian bercerai setelah memeroleh pemuasan hasrat seksual terhadap objek yang diinginkan.
Lalu, perlu dipertanyakan lagi. Efektifkah sebuah pelarangan sementara apa yang menjadi persoalan justru ada dalam diri manusia itu sendiri. Pelarangan hanya menangguhkan hasrat untuk kemudian membuatnya mengambil bentuk lain sebagai manifestasi pemuasannya. Ada atau tidaknya majalah Playboy bukanlah masalah sesungguhnya, karena di televisi, di kios-kios majalah, dan banyak hal di sekitar manusia terdapat substitusi dari majalah Playboy; justru masalah pengendalian hasratlah yang semestinya diberi perhatian lebih ketimbang pelarangan ini-itu. Menyadari hasrat yang ada dalam diri manusialah yang sebenarnya penting, karena dengan menyadari keberadaannya, maka manusia bisa mewaspadainya. Sebaliknya, dengan bersembunyi di balik term-term seperti: Karakter bangsa, Adat ketimuran, Tidak sesuai dengan agama, Tidak sesuai dengan Islam dan sejenisnya, justru membodohi dan menganggap bahwa seolah-olah hasrat itu tak ada dalam diri manusia.
Era ini adalah era di mana hasrat mengalir ke segala arah dan mulai menenggelamkan segala berhala-berhala yang selama ini ditempatkan sebagai simbol moralitas. Agama, Undang-undang, Nilai Budaya, dan segala hal-hal yang selama ini ditempatkan sebagai logos atau pusat kebenaran, sudah runtuh dan manusia mesti menyelematkan moralitasnya sendiri-sendiri agar tak terseret dan tenggelam oleh arus hasratnya. Ini adalah jaman di mana hanya ada sedikit waktu bagi semua orangtua untuk mempersiapkan anaknya agar mereka tak terhanyut dan tenggelam dalam permainan hasrat yang ditawarkan di kios-kios majalah, di toko buku, di internet dan di banyak sudut kehidupan dalam masyarakat. Apa yang lebih penting adalah mempersiapkan moralitas individu agar ia siap dan mawas akan hasrat di dalam dirinya dan bukan mencari-cari penyebab yang justru mengaburkan persoalan sebenarnya.
CATATAN-CATATAN:
[1] “Penolakan buat si ‘Kelinci’; Media Indonesia edisi Minggu, 22 Januari 2006/No. 9168/ Tahun XXXVIII, hal. 3
[2] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[3] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[4] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; xxxii-xxxiii
[5] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xlii-xliii
© Audifax – 24 Januari 2006
No comments:
Post a Comment