Sunday, June 1, 2008

FPI (again ?)

1 Juni sore, saya dikejutkan dengan berita di SCTV mengenai penyerbuan atau penyerangan Apel Akbar Aliansi Kebangsaan oleh massa dari Front Pembela Islam (FPI). Beberapa aktifis menderita luka akibat pukulan tangan dan tongkat, bahkan pengeras suara turut aktif menghajar apel yang diyakini FPI akan merugikan Islam tersebut.

Kecaman demi kecaman membanjiri media massa, di Cirebon markas DPW FPI Cirebon dirusak massa dari simpatisan NU yang merasa kesal dengan aksi anarkins FPI di monas. Para simpatisan NU tersebut merobohkan papan nama secretariat FPI Cirebon.

Getir juga melihat brutalitas massa FPI, meski saya sudah tahu dari dulu, termasuk aksi balasan terhadap kantor FPI di Cirebon. Brutal melawan brutal, anarki menghasilkan rantai anarki yang panjang. Kata-kata itu muncul begitu saja dibenak saya.

Saya coba kilas balik pengalaman pribadi dulu ketika sering turun ke jalan tahun 2003, terutama saat mengadvokasi hak-hak PKL di kota Bandung yang waktu itu tergerus ancaman pembangunan ITC Kebon Kelapa dan Pasar Baru. Ketika itu walikota Bandung (Bpk. Aa Tarmana) melakukan peletakkan batu pertama Mal ITC Kebon Kalapa yang dibangun di atas tanah bekas terminal Kebon Kalapa, saya bersama rombongan PKL yang anti pembangunan melakukan aksi pada saat yang sama.

Diluar dugaan, aksi kami tidak dihadang oleh Petugas Kepolisian yang memang ada pada waktu itu, aksi kami justru mendapat perlawanan dari sekelompok massa yang mengatasnamakan dirinya GAPENSA (Gabungan Pengusaha Sandang). Kelompok ini pun sebenarnya PKL eks Cibadak Mol (CIMOL) yang dihimpun di eks terminal Kebon Kalapa tersebut. Tetapi sikap mereka terhadap pembangunan ITC berbeda jauh dengan kami, yaitu mendukung sepenuhnya.

Dengan mata merah dan sikap garang kelompok PKL tersebut menghadang kami dan melakukan tindakan-tindakan kasar terhadap kami. Mereka berteriak-teriak, “SAYA JUGA PKL !”.

Hal yang sama dialami juga ketika Pemkot Bandung menggusur PKL di wilayah alun-alun masjid Agung (sekarang mesjid Raya Bandung). Kami justru berhadapan dengan para pendekar dan ksatria dari berbagai perguruan silat di Bandung dan sekitarnya. Sekali lagi, kami bukan berhadapan dengan aparat.

Itu pengalaman saya. Lantas apa hubungannya dengan kejadian FPI di atas ? Ada. Bagi saya apa yang dialami aktivis aliansi kebangsaan dan saya waktu itu, konteks dan tujuannya sama : memindahkan konflik vertical menjadi konflik horizontal. Seperti yang sudah diketahui, aksi PKL yang saya galang bersama teman-teman, memiliki sasaran satu : perubahan kebijakan pemerintah. Yakni, membatalkan pembangunan ITC kebon kalapa, karena tidak ada dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RTRK (Rencana Tata Ruang Kota) Bandung. Bahkan tim ahli dari ITB pun tidak menyatakan hal yang sama, untuk Pasar Baru memiliki ketahanan bangunan hingga 15 tahun mendatang.

Kami berhadapan dengan PKL yang dipecah suaranya, bahkan ketika penggusuran PKL di alun-alun Bandung, para pedagang VCD yang rata-rata orang non-sunda (Padang, Batak dll) menderita kekerasan fisik dan verbal. Selain pemukulan oleh para jawara silat, PKL dikata-katai sebagai perusak kota Bandung, ngaheuheurin (bikin sempit) dan banyak lagi. Sikap-sikap memancing konflik ini, dilakukan pula oleh walikota Bandung waktu itu, tatkala mendengar isu aksi gabungan PKL Bandung-Cirebon-Cianjur-Garut, Aa tarmana dengan lantang menyatakan bahwa aksi PKL itu akan dihadapi oleh tukang becak. Itu saya baca di Koran local.

Pola yang sama, memindahkan konflik dari vertical jadi konflik horizontal akan mengorbankan sesama rakyat yang tidak berdosa dan sebenarnya tidak tahu apa-apa. Seperti halnya aksi massa FPI vs Aliansi kebangsaan, rakyat melawan rakyat. Bertarung memperebutkan sesuatu yang belum jelas keuntungan dan maslahatnya bagi mereka. Bahkan bagi coordinator lapangan Aliansi Kebangsaan, keanehan dirasa karena polisi sepertinya tidak sigap mencegah aksi massa FPI.

Ini mirip denga politik belah bambu atau pecah belah ala kolonial dulu. Rakyat dibuat bertarung dan kehabisan energi berjibaku dengan saudaranya sendiri. Bisa jadi ini semacam pengalihan isu dari masalah yang sebenarnya, seperti BBM, KEMISKINAN, KORUPSI, KETIDAK ADILAN dan sebagainya.

Rakyat dalam hal ini ummat Islam sebenarnya sudah sering (berpengalaman ?) dengan konflik horisontal ini. Ummat kerap menjadi korban pengalihan isu atau konflik yang dilakukan kelompok yang anti dan tidak menyenangi eksponen Islam. Tidak usah jauh-jauh, ketika HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menggelar Konferensi Khilafah Internasional, masyarakat tidak pernah merasakan gaung atau building issu yang dibangun hasil konferensi tersebut. Justru kita teralihkan dengan berita-berita seperti Al-Qiyadah, Qur’an Suci, AL-Haq, dan terakhir Ahmadiyah. Secara kasat mata, aksi anarkis massa terhadap kelompok lainnya dinikmati berjuta mata di Indonesia. Khilafah ? Wah....gak tau tuh....tenggelam....

Inilah kecerdikan musuh. Building issue-nya tepat dan cerdas. Khilafah pun kalah mentereng, jauh dari mendapat sambutan.

Apa yang terjadi dalam kasus Al-Qiyadah, Ahmadiyah dan FPI adalah sama-sama mengalihkan isu dan pemindahan konflik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita, khususnya ummat Islam masih jauh dari matang secara sosial apalagi secara ideologi dan politik.

Ummat Islam, meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, masih sering melakukan “kesalahan-kesalahan lama”, bertindak reaksioner, bukannya proaksi. Mengambil bentuk kemarahan bukan politisasi.

Kini, kembali Islam dan eksponen gerakan Islam seluruhnya menderita tamparan akibat dari aksi FPI ini. Uniknya, aksi FPI ini (entah ini diperhitungkan atau tidak oleh para Habib pimpinan FPI) dilakukan pada kelompok yang sedang memperingati hari lahirnya Pancasila (1 Juni adlah hari kelahiran Pancasia, bagi anda yang belum tahu). Luar biasa, efeknya menurut Goenawan Muhammad hal tersebut masih membuktikan adanya unsur-unsur dalam masyarakat kita yang anti Pancasila.

Jadi dampaknya bertambah, selain pengalihan dan pemindahan konflik, justru sekarang mulai ada pensudutan. Karena aksi FPI ini pas dengan hari lahirnya ideologi nasional Pancasila. Ini dilematis, terutama bagi eksponen ummat yang menginginkan tegaknya Syari’at Islam. Cap anti Pancasila yang dulu digunakan Soeharto sepertinya akan disematkan lagi pada eksponen ummat Islam perindu Syari’at.

Ini PR dan pelajaran buat kita. Masih banyak yang harus dikerjakan, masih jalan sendiri-sendiri, tanpa sinergi. Kita masih kalah cerdas nampaknya, alih-alih mengalahkan musuh, kita kembali terpancing dan jadi bulan-bulanan.

Dulu ketika booming buku aliran Kiri, banyak eksponen ummat Islam yang gencar melakukan razia buku dan pembakaran buku-buku yang membahas ideologi Marxis dan varian-variannya. Salah satu organisasi yang terlibat dalam pembakaran itu adalah GPI (Gerakan Pemuda Islam) yang kebetulan waktu itu ketua Jawa Baratnya saya kenal dekat. Dalam satu kesempatan saya berkata pada beliau, “Kang, buku-buku kiri dibakar, mereka justru semakin besar”. Sahabat saya hanya senyum, gak jelas.

Akhirul kalam, saya tidak luput dari kesalahan. Cuma apa yang terjadi di silang monas itu mirip dengan yang saya alami dan ini patut direnungkan. Dan diperbaiki !

Wassalam

No comments: