Friday, June 29, 2007

FAJAR HASRAT DAN SENJAKALA MORAL

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry Potter”(2005, Jalasutra)


We all come in from the cold
We come down from the wire
An everybody warms themselves
to a different fire

dikutip dari lagu “Breakdown” oleh Guns N’ Roses, album Use Your Illusion II


Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa inilah jaman di mana hasrat mulai menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Inilah pula titik di mana moralitas menjadi absurd, relatif, dan dikembalikan pada masing-masing individu. Sebuah data menarik yang memperkuat asumsi mengenai fenomena eksistensi hasrat adalah rencana terbitnya majalah Playboy Indonesia di Bulan Maret 2006. Tak pelak, rencana itu sudah mengundang reaksi dari kalangan agama. Dua tokoh, Hasyim Muzadi (Ketua umum PBNU) dan Din Syamsudin (Ketua umum PP Muhammadiyah), telah angkat bicara menentang rencana penerbitan Playboy Indonesia.

Hasyim Muzadi mengatakan bahwa rencana itu merupakan penghancuran karakter bangsa secara sistematis. Dia jelaskan sebagai berikut: “Pornografi itu menghancurkan karakter bangsa, mendorong seks bebas dan hidup hedonis yang sangat tidak produktif untuk perkembangan bangsa. Maka pada Maret mendatang kita akan memasuki gerakan moral antipornografi, karena pornografi itu menghancurkan karakter bangsa”. Tak kalah geram, Din Syamsudin mengatakan bahwa rencana penerbitan Playboy Indonesia itu bisa menimbulkan reaksi keras umat Islam. Bukan tak mungkin akan menjadi pemicu bagi ketidak sabaran umat, atas banyaknya pornografi dan pornoaksi di tengah masyarakat[1].

Terlepas dari kontroversinya, ada sesuatu yang mesti menjadi perenungan semua pihak di sini. Bahwa dalam diri manusia terdapat hasrat. Lebih jauh, manusia adalah mahkluk berhasrat. Mau dibahas dalam rangka survival, seksual, korupsi, politik, pembantaian mengatasnamakan agama atau berbagai perilaku lain; semuanya menunjukkan bahwa manusia lebih merupakan mahkluk berhasrat ketimbang mahkluk berakal budi, apalagi mahkluk beragama, bertuhan, dan sejenisnya yang sering disebut-sebut oleh para tokoh agama itu (yang semuanya tak lebih dari ilusi).

Hasrat itu ada dalam diri manusia dan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan manusia. Akal budi, agama, iman dan hal-hal lain yang selama ini diletakkan sebagai causa prima dalam perilaku manusia, sebenarnya membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus tertentu agar dapat manifes. Ini berbeda dengan hasrat, ia bisa mengambil bentuknya sendiri dan menyesuaikan dengan segala situasi. Hasrat bisa menjadi bak air bah yang tak terbendung dan menghanyutkan manusia tanpa manusia bisa melawannya. Itu terjadi ketika manusia bersikap seolah hasrat bukan sesuatu yang berbahaya, berbuat seolah-olah penyebab segala perilaku nafsani berasal dari stimulus di luar tubuh dan bukan berasal dari dalam tubuh. Fenomena majalah Playboy beserta kegenitan-kegenitan para tokoh yang menggunakan istilah pornografi dan ponoaksi itu, semestinya lebih diarahkan pada kesadaran bahwa refleksi atas keberadaan hasrat itu sendiri lebih penting ketimbang segala aturan yang toh tak konsisten itu.

Selama ini manusia sudah terbiasa hidup dalam bayang-bayang imperatif Sokratean yang di baliknya bersembunyi pula iman yang meletakkan manusia dalam kodrat dasar kemanusiaan, dalam tiga alasan:
Mengukuhkan subjektivitas
memastikan pengetahuan atas dunia
memantapkan posisinya di puncak hirarki kemaujudan.
Bertolak dari tiga alasan itu, pencarian kodrat selalu meminggirkan hasrat dari medan kemanusiaan. Aristoteles menyebut hasrat sebagai komponen rendah dari jiwa manusia yang harus dikendalikan oleh rasio. Plato menuduh hasrat sebagai gangguan badani yang mencegah manusia memalingkan wajah ke matahari kebenaran. Para teoritikus pengetahuan modern mendakwa hasrat sebagai subjektivitas yang harus dilempar dari setiap penjelasan ilmiah[2].

Rene Descartes memuncaki sejarah pengucilan hasrat pada adagium Cogito Ergo Sum. Manusia pun lantas dibaptis sebagai subjek Cartesian yang sadar penuh, rasional, berjarak, dan senantiasa kritis atas kultur yang bersandar pada ilusi, mitos, dan imajinasi hiperbolis. Lalu, bergandengan dengan moral Yudeo-Kristiani, Subjek Cartesian menggotong hipokrisi epistemologi yang parah. Friedrich Nietzche kemudian dengan jitu menyibak selubung hasrat yang selama ini menutup rapat kesejatian manusia terdalam itu dalam kotak rasionalitas dan moral[3].

Guncangan Nietzche, kemudian dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang mensinyalir bahwa subjek cartesian sebenarnya adalah mahkluk yang menyimpan hasrat libidinal dalam ranah nirsadarnya. Subjek cartesian yang sadar diri, rasional, dan berjarak bukanlah kesejatian manusia, melainkan muncul dalam proses perkembangan psikodinamika manusia. Ego Cogito, sebenarnya lebih merupakan reaksi atas proses ekuilibrasi antara hasrat dalam ranah nirsadar dan konstrain budaya[4]. Namun, Freud masih terjebak pada ilusi kemenangan subjek cartesian atas hasrat melalui formasi ego-nya, hingga kemudian Jacques Lacan menunjukkan bahwa hasrat memiliki potensi subversi atas ego. Lacan justru melihat kerapuhan ego yang selama ini diagung-agungkan para penganut psikologi ego. Lacan menunjukkan ketergantungan ego pada hasrat-hasrat yang menginfiltrasinya dari medan sosial.

Inilah konteks yang mesti kita renungkan dalam kasus majalah Playboy. Di balik segala topeng ego (“Aku manusia berkarakter Indonesia”, “Aku adalah orang Timur”, “Aku adalah umat Islam”, dan sejenisnya) yang dikonstruksi sebagai jenis orang-orang yang menolak pornografi; tersembunyilah hasrat. Jika Playboy jadi terbit, mereka-mereka yang mengenakan topeng ego itupun akan mengonsumsinya juga. Ini karena ego tak lebih adalah penyesuaian dengan konstrain budaya. Manusia memakai topeng ego hanya agar bisa menyesuaikan tampilan dengan budaya di mana dia hidup, selebihnya, di balik segala topeng itu hasratlah yang memegang peranan. Seringkali bahkan manusia justru tak punya malu dalam menggunakan topeng-topeng ego itu untuk menutupi betapa sesungguhnya ia adalah mahluk dengan hasrat besar, seperti terlihat dalam kasus Rhoma Irama yang kembali mempersoalkan goyang Inul seolah masyarakat lupa kasusnya menikahi Angel Lelga yang belum lama berlalu.

Subjek Cartesian yang sempurna pada dirinya tak lebih dari ilusi. Topeng-topeng Ego Cogito yang dibangun di atas pengucian hasrat terbukti, justru tak lepas dari campur tangan hasrat untuk kepuasannya dengan cara memiliki identitas. Hasrat yang muncul akibat kodrat manusia sebagai ‘yang selalu berkekurangan’. Tafsir kritis atas psikoanalisis-struktural Jacques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat sang hasrat.
hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, karena ia [tetap] bekerja saat kekurangan biologis tercukupi.
hasrat jauh dari dominasi ego cogito, hasrat justru merupakan syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri.
hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahkluk yang berkekurangan secara eksistensial[5].
Kekurangan inilah yang memunculkan hasrat untuk memiliki dan hasrat untuk menjadi. Orang ingin menjadi sesuatu, orang ingin memiliki sesuatu, semuanya karena hasrat.

Hal inilah yang membuat produk-produk seperti Playboy atau banyak majalah yang mengumbar seksualitas lain bisa eksis di pasaran media di Indonesia saat ini. Manusia memang membutuhkan untuk memuaskan hasratnya. Jika dalam kehidupan nyata mereka tak bisa memiliki perempuan-perempuan dengan bentuk tubuh menggiurkan itu, maka dalam alam imaji mereka bisa memenuhinya, dan majalah-majalah itulah jalan keluarnya. Bahkan agamapun, sama juga seperti majalah Playboy, dibutuhkan sebagai sarana untuk memperlancar pemuasan hasrat, karena dengan agama orang bisa menikah siri diam-diam seperti Rhoma Irama dan Angel Lelga atau Jackson dan Cut Memey, untuk kemudian bercerai setelah memeroleh pemuasan hasrat seksual terhadap objek yang diinginkan.

Lalu, perlu dipertanyakan lagi. Efektifkah sebuah pelarangan sementara apa yang menjadi persoalan justru ada dalam diri manusia itu sendiri. Pelarangan hanya menangguhkan hasrat untuk kemudian membuatnya mengambil bentuk lain sebagai manifestasi pemuasannya. Ada atau tidaknya majalah Playboy bukanlah masalah sesungguhnya, karena di televisi, di kios-kios majalah, dan banyak hal di sekitar manusia terdapat substitusi dari majalah Playboy; justru masalah pengendalian hasratlah yang semestinya diberi perhatian lebih ketimbang pelarangan ini-itu. Menyadari hasrat yang ada dalam diri manusialah yang sebenarnya penting, karena dengan menyadari keberadaannya, maka manusia bisa mewaspadainya. Sebaliknya, dengan bersembunyi di balik term-term seperti: Karakter bangsa, Adat ketimuran, Tidak sesuai dengan agama, Tidak sesuai dengan Islam dan sejenisnya, justru membodohi dan menganggap bahwa seolah-olah hasrat itu tak ada dalam diri manusia.

Era ini adalah era di mana hasrat mengalir ke segala arah dan mulai menenggelamkan segala berhala-berhala yang selama ini ditempatkan sebagai simbol moralitas. Agama, Undang-undang, Nilai Budaya, dan segala hal-hal yang selama ini ditempatkan sebagai logos atau pusat kebenaran, sudah runtuh dan manusia mesti menyelematkan moralitasnya sendiri-sendiri agar tak terseret dan tenggelam oleh arus hasratnya. Ini adalah jaman di mana hanya ada sedikit waktu bagi semua orangtua untuk mempersiapkan anaknya agar mereka tak terhanyut dan tenggelam dalam permainan hasrat yang ditawarkan di kios-kios majalah, di toko buku, di internet dan di banyak sudut kehidupan dalam masyarakat. Apa yang lebih penting adalah mempersiapkan moralitas individu agar ia siap dan mawas akan hasrat di dalam dirinya dan bukan mencari-cari penyebab yang justru mengaburkan persoalan sebenarnya.



CATATAN-CATATAN:

[1] “Penolakan buat si ‘Kelinci’; Media Indonesia edisi Minggu, 22 Januari 2006/No. 9168/ Tahun XXXVIII, hal. 3
[2] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[3] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xxxii
[4] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; xxxii-xxxiii
[5] Donny Gahral Adian, (2005); Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan; esei pembuka dalam Jacques lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial; Yogyakarta Jalasutra; hal. xlii-xliii



© Audifax – 24 Januari 2006

Friday, June 22, 2007

USA CIA GENT JONES BACK TO HER OLD TRICKS!























CIA Agent Sidney Jones 'It's all in the wrist Action.' An old report says CIA agent Sidney Jones is another one of those "alleged terrorism experts" working for the USA and remains an active security threat with more than 10,000 members.
No Western analyst knows more about Sidney Jones in Indonesia than the International Crisis Group Indymedia.

Our old report on Jones and the terrorist organisation the CIA, who are cleverly disguised as a South-East Asia director for an International Crisis Group, that spends most of their time giving sermons to Australia about a pseudonym called 'Jemaah Islamiya', a fictitious scapegoat group made up by the Americans.

Even members who have been out of contact for years are likely to be respond to calls to action from their CIA leaders.

Recent arrests have revealed the formation of what the report calls "special forces units" or "hit squads" focusing more on assassinating the general public and planning a another big Bali bombing attack, says the report.

The CIA operatives remain active even in Guantanamo Bay prison where extremists like George W Bush are likely to be radicalising less militant CIA members.

In Other Developments:

JI network still an active security threat: analyst?
By Geoff Thompson.


John Howard's ABC A new report says Indonesia's Jemaah Islamiah (JI) terrorist network remains an active security threat with more than 900 members spread across the country.

No Western analyst knows more about Jemaah Islamiah in Indonesia than the International Crisis Group's (ICC) Sidney Jones (sering jadi narasumber media2 indonesia berkenaan dengan isu terorisme).

Her new report on the terrorist organisation's current status estimates that there are still at least 900 JI members active across the archipelago from Aceh to the island of Flores.

Even members who have been out of contact for years are likely to be respond to calls to action from their JI leaders.
Recent arrests have revealed the formation of what the report calls "special forces units" or "hit squads" focusing more on assassinating public officials than planning a another big Bali bombing attack, says the report.
JI operatives remain active even in high-security prisons where extremists like the original Bali bombers are likely to be radicalising less militant JI members.
Related:

CIA agent returns to Indonesia last July?
But don't believe a word she says because she my friends is a typical CIA agent. Sent to Indonesia to promote some type legitimacy to the alleged 'war on terror' and her 'radical statements' and 'terrorist theories'. And together with her spy mates and the pro-government media who seek to give her relevance because her job is to point the finger to have everyone look the wrong way, at the wrong enemy.

CIA agent spreads terror fears in Australia
Why shouldn't you be convinced after all gunaratna says he's a dr and reported to be a 'terrorist expert'? He even lives in Indonesia surrounded by bombs going off in his own backyard. But even with his alleged expertise it has only led to even more relentless and 'subsequent bombings' in Indonesia. So I suppose that's how you know you need an expert?


hoWARd, will keep chilling you!
All this nonsense to hide the fact that the Bali bombing was not State Sanctioned Terror when it clearly was in relation to the explosive used in the second Bali bomb blast in 2002 which was clearly military hardware. More:

Aussie ministers plot to kill dissent
Sure, we should be really angry now, that these terrorists should plot to blow up the Bali mourners! And that should buy hoWARd the coward a free kick to any draconian laws that he now seeks to enforce, based on the communities deep emotions, anguish and fears of another attack?

Australia's Terrorism Wake Up Call [164]
The horrific bombings of the Sari Club and Paddy's Bar in Bali, on October 12, 2002, considerably strengthened the hand of the CoW in pursuing the War on Terror. Here was an opportunity to harden the hearts of the Australian and US public against Islamic fundamentalists. It was also a chance for the Indonesian government to justify harsh measures in the war against terrorists and secessionists, such at those in the province of Aceh.
Find More articles in
Pandai-pandailah Membaca Peta!
Jangan asal tunjuk,asal vonis,asal bicara !


IQRO!MORE THAN JUST READING

Wednesday, June 20, 2007

Sex as Sadaqa

An excerpt from 'The Muslim Marriage Guide', By Ruqaiyyah Waris Maqsood (Amana Publications).

"Women shall have rights similar to the rights upon them; according to what is equitable and just; and men have a degree of advantage over them." (Quran, 2:216)

They do indeed! This passage of the Holy Quran was revealed in connection with the rights of women following a divorce, but it also has a general sense. One basic right of every person taking on a contract never to have sex other than with their own legitimate partner is that each spouse should therefore provide sexual fulfillment (imta') to the other, as part of the bargain.

Now, every man knows what sexual things please him--but some men, particularly those who have not been married before and are therefore lacking experience, don't seem to know much about how to give the same pleasure to the woman; even worse, some men do know but they can't be bothered to make the effort. Yet this is vital if a marriage is to succeed and not just be a disappointing burden for the woman, and it is a vital part of one's Islamic duty.

It is not acceptable for a Muslim man just to satisfy himself while ignoring his wife's needs. Experts agree that the basic psychological need of a man is respect, while that of a woman is love. Neither respect nor love are things that can be forced--they have to be worked for, and earned. The Prophet (s) stated that in one's sexual intimacy with one's life partner there is sadaqa (worship through giving):

Allah's Messenger (pbuh) said: "In the sexual act of each of you there is a sadaqa." The Companions replied: "O Messenger of Allah! When one of us fulfils his sexual desire, will he be given a reward for that?" And he said, "Do you not think that were he to act upon it unlawfully, he would be sinning? Likewise, if he acts upon it lawfully he will be rewarded." (Muslim)

This hadith only makes sense if the sexual act is raised above the mere animal level.

What is the magic ingredient that turns sex into sadaqa, that makes it a matter of reward or punishment from Allah? It is by making one's sex life more than simple physical gratification; it is by thought for pleasing Allah by unselfish care for one's partner. A husband that cannot understand this will never be fully respected by his wife.

Neither spouse should ever act in a manner that would be injurious or harmful to their conjugal life. Nikah is the sacred tie between husband and wife, that sincere and devoted love without which they cannot attain happiness and peace of mind.

"Of His signs is this: that He created for you spouses that you might find rest in them, and He ordained between you love and mercy." (Quran, 30:21)

Now, every Muslim knows that a man has a right on his wife. However, because nikah is a contract never to seek sexual satisfaction outside the marriage bond, Islam commands not only the women but the men in this respect, and makes it clear that if a husband is not aware of the urges and needs of his wife, he will be committing a sin by depriving her of her rights.

According to all four orthodox jurists, it is incumbent upon the husband to keep his wife happy and pleased in this respect. Likewise, it is essential for the wife to satisfy the desire of the husband. Neither should reject the other, unless there is some lawful excuse.

Now, it is fairly easy for a woman to satisfy a man and make herself available to him, even if she is not really in the mood. It is far harder for a man to satisfy a woman if he is not in the mood, and this is where an important aspect of male responsibility needs to be brought to every Muslim man's attention, and stressed strongly.

The jurists believed that a woman's private parts needed "protecting" (tahsin). What they meant was that it was important for a Muslim husband to satisfy his wife's sexual needs so that she would not be tempted to commit zina out of despair or frustration.

A Muslim wife is not merely a lump of flesh without emotions or feelings, just there to satisfy a man's natural urges. On the contrary, her body contains a soul no less important in God's sight than her husband's. Her heart is very tender and delicate, and crude or rough manners would hurt her feelings and drive away love. The husband would be both foolish and immoral to act in any way unpalatable to her natural temperament, and a man selfishly seeking his own satisfaction without considering that of his wife is a selfish boor. In fact, according to a hadith:

"Three things are counted as inadequacies in a man. Firstly, meeting someone he would like to get to know, and taking leave of him before learning his name and his family. Secondly, rebuffing the generosity that another shows to him. And thirdly, going to his wife and having intercourse with her before talking to her and gaining her intimacy, satisfying his need from her before she has satisfied her need from him." (Daylami)

This is another of the things implied by the saying that one's wife is "a tilth unto you." (Quran, 2:223) The imagery is that of a farmer taking care of his fields. According to Mawlana Abul-Ala Mawdudi:

"The farmer sows the seed in order to reap the harvest, but he does not sow it out of season or cultivate it in a manner which will injure or exhaust the soil. He is wise and considerate, and does not run riot." (Afzalur Rahman, Quranic Sciences, London 1981, p.285)

Likewise, in the case of husband and wife, the husband should not just:

“Take hold of his wife and rub the seed and finish the business of procreation. The damage in this case could sometimes be irreparable, because a woman, unlike a farm, is very sensitive and has emotions, feelings, and strong passions which need full satisfaction and attention in a proper and appropriate manner.” (Afzalur Rahman, Quranic Sciences, London 1981, p. 286)

If this is not taken into consideration, and the wife is not properly prepared to start lovemaking, or is unsatisfied when it is finished, there could be many psychological and physiological complications leading to frigidity and other abnormalities. Indeed, many husbands eventually become disappointed with their wives, believing them to be frigid or unable to respond to their activities (unlike the sirens on the film or TV screen), and they wonder what is wrong with them. A possible explanation will follow in a moment.

Allah created male and female from a single soul in order that man might live with her in serenity (Quran, 7:189), and not in unhappiness, frustration and strife. If your marriage is frankly awful, then you must ask yourself how such a desperate and tragic scenario could be regarded by anyone as "half the Faith." According to a hadith:

"Not one of you should fall upon his wife like an animal; but let there first be a messenger between you." "And what is that messenger?" they asked, and he replied: "Kisses and words." (Daylami)

These "kisses and words" do not just include foreplay once intimacy has commenced. To set the right mood, little signals should begin well in advance, so that the wife has a clue as to what is coming, and is pleasantly expectant, and also has adequate time to make herself clean, attractive and ready. As regards intimacy itself, all men know that they cannot achieve sexual fulfillment if they are not aroused. They should also realise that it is actually harmful and painful for the female organs to be used for sex without proper preparation. In simple biological terms, the woman's private parts need a kind of natural lubrication before the sexual act takes place. For this, Allah has created special glands, known to modern doctors as the Bartholin glands, which provide the necessary "oils."

It is still possible to read old-fashioned advice to husbands that a desirable wife should be "dry"--which is remarkable ignorance and makes one really grieve for the poor wives of such inconsiderate men. Just as no one would dream of trying to run an engine without the correct lubricating fluids, it is the same, through the creative will of Allah, with the parts of the female body designed for sexual intimacy. A husband should know how to stimulate the production of these "oils" in his wife, or at the very least allow her to use some artificial "oils." This lack of knowledge or consideration is where so many marital problems frequently arise.

As Imam al-Ghazali says: "Sex should begin with gentle words and kissing," and Imam al-Zabidi adds: "This should include not only the cheeks and lips; and then he should caress the breasts and nipples, and every part of her body." (Zabidi, Ithaf al-Sada al Muttaqin, V 372) Most men will not need telling this; but it should be remembered that failure to observe this Islamic practice is to neglect or deny the way Allah has created women.

Insulting a wife with bad marital manners

Firstly, a husband must overcome his shyness enough to actually look at his wife, and pay attention to her. If he cannot bring himself to follow this sunna, it is an insult to her, and extremely hurtful. Personal intimacy is a minefield of opportunities to hurt each other--glancing at the watch, a yawn at the wrong moment, appearing bored, and so on. A husband's duty is to convince his wife that he does love her--and this can only be done by word (constantly repeated word, I might add--such is the irritating nature of women!), and by looking and touching.

Many people believe that the expression in the eyes reveals much of the human soul. Certainly the lover's gaze is a most endearing and treasured thing. Many wives yearn for that gaze of love, even after they have been married for years. If you cannot bring yourself to look at her while paying attention to her, she can only interpret this as a sign that you do not really love her. And even though it may be irritating to you, and seem quite superfluous, most women are deeply moved when a man actually tells her that he loves her.

Sex is clean!

A modest upbringing is part of good character. The Prophet (s) himself said: "Modesty brings nothing but good." (Bukhari and Muslim) But another, also important, part of Islamic teaching says that all of Allah's creation is beautiful and pure, particularly when it is part of the body of human beings, who are designed as His deputies upon the earth. In some religions, people traditionally believed that the woman's private parts are in some way unclean, or dirty, or even evi

Sunday, June 10, 2007

MANIFESTO AHLI DZIKIR

Tendensi alamiah manusia untuk selalu hidup tertib, nyaman dan sejahtera, baik secara mental-spiritual, maupun sosial, politik, ekonomi dan budaya. Diakui ataupun tidak, manusia membutuhkan ketertiban yang melingkupi dirinya, baik berupa ketertiban yang bersumber dari internal diri manusia itu sendiri, maupun dari faktor eksternalnya (masyarakat).

Karena manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, ia akan memerankan dirinya sebagai makhluk yang sadar diri dan sadar sosial. Tidak mungkin bagi dirinya untuk mengembangkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya. Pengabaian salah satu aspek tersebut akan menjerumuskan ia kepada ketidakseimbangan yang ia tolak jauh-jauh sebelumnya sebagai wujud komitmen total pada ketertiban. Sebagaimana ketidakseimbangan akan terjadi ketika manusia mendewakan jiwa ruhaninya, dan menolak total peran sosialnya, begitupun halnya ketika peran sosial dikedepankan tanpa membangun aspek ruhani.

Jadi ketertiban dan kesejahteraan manusia hanya akan berkembang dengan mengaktualkan aspek internal dan eksternal manusia, pribadi dan sosial. Al Qur’an memberikan contoh bagaimana hukum sejarah terjadi kepada kaum yang mengabaikan salah satu dari dua aspek tersebut.



“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…” (Qs. Ali Imran (3) : 112).


Ayat di atas berkisah tentang Bani Israil yang tidak mau memerankan atau komitmen kepada keseimbangan. Mereka mengabaikan aktualisasi pengembangan jiwanya untuk menuju Allah (Habl min Allah) dan ikatan sosial (Habl min al nas).

Hidup dalam tata nilai relijius merupakan manifestasi nyata dari hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah). Dalam kesadaran keagamaan, seruan para Rasul sebagai sebuah metode aplikatif dalam mengamalkan kesadaran ketuhanannya dalam masyarakat (habl min al nas).

Artinya kebutuhan manusia terhadap keseimbangan dan ketertiban akan terwujud dengan naluri dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan mengolah alam dan kecenderungan hidup bersama sehingga terbentuk komunitas sosial.

Ketidakseimbangan yang terjadi saat ini, akibat manusia hanya mengedepankan aspek material dari masyarakat saja. Manusia enggan untuk mengakui kebutuhan jiwanya akan pesan-pesan Ilaahiyah, menata masyarakatnya dengan tuntunan-tuntunan wahyu, karena memandang manusia dan alam semesta adalah final : tidak membutuhkan dan tidak memiliki kecenderungan dan fakta aspek metafisika, sehingga manusia tinggal memenuhi kebutuhan jasmaninya dari alam.

Eksploitasi sumber daya bumi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan badani dan aktifitas manusia yang semakin ketat. Teknologi mampu mempersingkat waktu tempuh perjalanan manusia, mempercepat komunikasi dan membuka kebebasan informasi.

Ironisnya, manusia memiliki gedung-gedung yang semakin tinggi, tetapi semakin rendah ketahanannya akan amarah. Rumah-rumah yang dimiliki semakin besar, tetapi keluarga semakin kecil. Rumah yang nyaman, tapi tidak ada waktu untuk menikmatinya. Rumah yang elok, tetapi keluarga berantakan.

Manusia memiliki relasi bisnis yang banyak, tetapi tidak begitu banyak kenal dengan tetangga dekat. Semakin banyak gelar akademis, tapi semakin sempit akal. Semakin banyak pengetahuan, tapi makin sempit penilaian pada yang baik dan yang salah.

Kita telah belajar bagaimana mencari nafkah, tetapi tidak belajar bagaimana mencari makna hidup. Kita mampu menambah tahun-tahun dalam kehidupan kita, tetapi gagal membawa kehidupan dalam tahun-tahun hidup kita. Manusia mampu melakukan hal-hal yang besar, tetapi gagal melakukan hal-hal yang baik. Kita membersihkan udara, tetapi jiwa kita penuh polusi. Manusia telah mampu menaklukan atom, tetapi tidak mampu menaklukan prasangka buruk. Terlalu banyak menilai, tetapi kurang introspeksi.

Kita banyak berencana, tetapi sedikit menggapai. Kita belajar untuk mengejar apa yang kita inginkan, tapi tidak belajar menunggu. Manusia-manusia lebih besar fisiknya, tetapi kerdil jiwa dan karakternya.

Paradoks kehidupan modern saat ini, dirasakan tidak nyaman karena tidak memelihara keseimbangan yang telah digariskan. Diantara manusia ada yang mensikapinya dengan melarikan diri dalam hiburan-hiburan ruhani, mengasingkan dirinya di sana dan menolak keburukan-keburukan masyarakat. Ada pula yang mencampurkan berbagai metode pendidikan jiwa dari berbagai agama, dan mengklaimnya sebagai sebuah wahyu baru abad millenium dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

Sinkretisme beragama diatas, sejenak memang bisa memberikan hiburan dan ketenangan, yang dipandang kemudian sebagai keseimbangan. Tetapi, keseimbangan hanya mungkin dicapai dengan mengikuti tuntutan dan sistem (ad diin) yang memahami karakter dasar manusia. Sistem yang memahami manusia hanya bersumber dari yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu : Allah.

Sistem Islam (Dinul Islam) sebagai perangkat pengembangan jiwa manusia dan menuntunnya dalam masyarakat dalam pola yang harmonis, hanya mampu difahami bila manusia berhasil membebaskan dirinya dari berbagai sudut pandang yang selama ini mengendap dialam bawah sadarnya. Manusia harus membebaskan dirinya dari ego, subyektifitas pemikiran dan teori-teori manusia, untuk sampai pada obyektifitas diri dalam memahami agama Allah.

Praktek-praktek beragama kita saat ini bisa jadi masih tercampur berbagai bid’ah atau subyektifitas yang bersumber dari sejarah masa lalu, fanatisme, penafsiran yang tidak lengkap, atau kebodohan-kebodohan diri kita. Untuk membebaskan diri dari hal-hal tersebut, seorang ahli dzikir mutlak harus memiliki sikap relijius, sikap ilmiah dan sikap ideologis.

Sikap relijius berkenaan dengan moralitas, bagaimana menanamkan pada diri untuk berperilaku dan beretika Islam. Memandang sesuatu bukan sekedar fenomena indrawi (materialis), tetapi lebih mendalam, hingga mampu menguak hikmah dibalik segala peristiwa untuk diaktualisasikan dalam kehidupan praktis (mission building).

Sikap ilmiah, sikap yang mencerminkan obyektifitas, metodologis dan sistematis. Obyektif yaitu jujur, terbuka melihat permasalahan, tidak apriori dan menganalisanya dari berbagai sudut pandang. Seseorang yang bersikap ilmiah pada dasarnya adalah seorang yang kritis, yang selalu tidak begitu saja menerima setiap data ilmu. Ia selalu hati-hati supaya bias pribadi tidak mempengaruhi penilaiannya. Ia selalu mencari kebenaran dan menerima fakta-faktanya untuk difahami. Ia selalu sistematis dan menempatkan hal-hal yang diketahuinya ke dalam suatu sistem yang tertib.

Sikap ideologis, merupakan kelanjutan dari realisasi mission building yang diperoleh dari sikap relijius di atas. Seorang pengemban missi akan responsif dan ekspansif dalam mengembangkan keyakinan relijiusnya.

Sikap ideologis ditunjukkan dengan adanya perjuangan ideologi, yakni perjuangan mewujudkan keseimbangan habl minallah dan habl minannaas. Pertama, adanya perasaan bahwa tujuan pengembangan jiwa (tazkiyyah an nafs) telah menyatu dengan tujuan-tujuan individual para ahli dzikir. Dengan adanya perasaan demikian, maka tidak akan timbul lagi persepsi yang dikotomis tentang perkembangan spiritual dengan pembangunan masyarakat : aspek pertama dipandang murni ruhani dan jiwa, sementara aspek kedua adalah sekuler dan politik an sich.

Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kedua aspek di atas, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Begitu pun halnya, tidak terdapat friksi antara cara-cara dalam mencapai tujuan pengembangan jiwa, berhadapan dengan pencapaian tujuan-tujuan pribadi manusia.

Kedua, adanya perasaan keterlibatan psikologis dalam program-prgram ideologis yang menimbulkan kepuasan batin bagi setiap ahli dzikir. Hal ini ditunjukan dengan adanya kesetiaan (wala’) yang tinggi, solidaritas sosial (ukhuwah), dan kegairahan dalam menghadapi tantangan.
Bila ketiga sikap di atas (relijius,ilmiah dan ideologis) telah tertanam di dada setiap ahli dzikir, konsekuensi logisnya akan lahir sebuah manifesto seorang ahli dzikir. Manifesto ahli dzikir adalah sebuah arah, haluan dari sebuah pergerakan mewujudkan tatanan yang seimbang di atas.
Tanpa manifesto, bagaimana pun ritual dzikir dijalankan, ia hanya akan berhenti pada sekedar memuaskan kehausan jiwanya. Tidak memiliki efek terhadap perubahan lingkungan. Dengan kata lain, ia tetap tanpa arah alias tidak seimbang.

Untuk menghindarinya, sebagai guideline dalam bertindak, manifesto adalah kemestian sebuah perjalanan dzikrullah dan tazkiyyah. Agar setiap ahli dzikir mampu berperan dalam ruang geografisnya secara definitif. Inilah bentuk dzikir yang produktif, tidak sekedar memberikan ekstase ruhaniah yang cenderung menjinakkan kita dan malah membuat kita semakin pasif sebagai Penata Bumi (Khalifah).

Al Qur’an memberikan ilustrasi, bagaimana keyakinan diri yang kokoh menancap pada akarnya akan membentuk karakter yang mandiri, visioner dan cerdas memaknai zaman, hingga ia mampu memberikan sinergi dan kontribusi positif bagi lingkungan yang ia tempati.



“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (berdzikir)”. (Qs Ibrahim (14) :24-25)

Sementara orang-orang yang tertutup dari kalimat-kalimat kebenaran, tidak memiliki keteguhan. Mereka senantiasa terombang-ambing dalam kehidupan, jiwanya keropos, tidak memiliki visi dan missi hidup, dan tidak mampu memaknai fenomena zaman. Alih-alih membaca fenomena zaman, ia malah terseret arus materialisme yang deras.

“ Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (Qs Ibrahim (14) : 26)

Tentunya, Allah menginginkan keshalehan kita di mihrab-mihrab merambah pada realitas dan menyentuh masyarakat. Bila dzikir hanya sekedar kenikmatan ruhani di mihrab-mihrab, maka benarlah apa yang dikatakan Karl Marx, “agama adalah candu”, yang melenakan kita dengan memberikan hiburan sesaat dari problematika hidup dan tanggung jawab sosial yang kita emban sebagai Khalifah.
Wallahu A’lam

NB : Ini merupakan bagian dari naskah buku perdanaku "Ma'rifatudz Dzikir, sebagai bab penutup. Tapi sayang, entah kenapa bagian ini tidak dicetak.

Thursday, June 7, 2007

Rindu ...... Seorang Fakir

Ya Allah,…
Wahai Dzat yang maha pengasih dan penyayang ….
Wahai dzat yang maha indah …
Yang cintaNya kepada hambaNya jauh melebihi cinta hamba kepadaNya……
Hamba sering mengecewakanMu …….
Hamba sering melanggar aturanMu, meninggalkan perintahMu tapi, …
Engkau selalu menantiku dimalam2 indahMu.

Menegur hati yg lelap ini dengan cintaMu,
dengan kasih sayang MuKau bimbing diri ini,
Kau tuntun diri ini ….
tak henti – hentinya…
agar aku tak tergelincir dari jalanMu..
Jalan yang penuh rahmatMu jalan keselamatanMu…
Adakah makhlukMu yang dapat menandingi kesetianMu?..

Cukup lama aku terlena dengan keindahan semu dunia ini,
yang setiap hari kudengar,
kulihat,
kurasakan…
kualami menjauhkanku dariMu
tapi…
Engkau mengetahui …
di dalam hati ini..
hati yang paling dalam
bahwa…
Aku merindukanMu ..
yang aku sendiri tak menyadarinya..
Kau beri seberkas cahaya..
ditengah hati yang gelap ini untuk mengikutinya..
Hingga sampai pada cahayaMu
cahaya dimana hati ini menjadi tenang,
hangat oleh cahaya keindahanMu …

Ya Allah engkau perlihatkan keindahan yang sesungguhnya
Engkau perlihatkan kebahagiaan yang sesungguhnya ..
yang selama ini aku cari
Walaupun mungkin hanya setetes air diantara luasnya lautan..
tapi…
kurasakan betapa tidak ada artinya keindahan dunia ini
setelah selama ini kunikmati keindahan dan kebahagiaan semu dunia.

Kurasakan betapa dahaganya hati hamba selama ini
yang haus akan ketenangan jiwa
yang haus akan kebersihan hati
yang rindu akan akhlak mulia
yang rindu akan kekhusyuan shalat
yang rindu akan Engkau ya Allah
betapa rindunya hingga setiap mengingat-Mu di malam hari
tak ada habisnya air mata ini bercucuran ….
merindukan Mu ya Allah
di tengah dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kejahatan,
lindungi hamba ya Allah…………………..

Wednesday, June 6, 2007

Bahlul dan Tahta Raja

Bahlul, si tolol yang bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di balik tabir kegilaan. Dengan itu, ia dapat keluar masuk istana Harun Al-Rasyid dengan bebasnya. Sang Raja pun amat menghargai bimbingannya.

Suatu hari, Bahlul masuk ke istana dan menemukan singgasana Raja kosong. Dengan enteng, ia langsung mendudukinya. Menempati tahta Raja termasuk ke dalam kejahatan berat dan boleh dihukum mati. Para pengawal menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari tahta, dan memukulinya. Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera menghampirinya.

Bahlul masih menangis keras ketika Raja menanyakan sebab keributan ini kepada para pengawal. Raja berkata kepada yang memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana ada orang waras yang berani menduduki singgasana Raja?” Ia lalu berpaling ke arah Bahlul, “Sudahlah, tak usah menangis. Jangan kuatir, cepat hapus air matamu.” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku menangis karena kasihan terhadapmu!”

“Kau mengasihaniku?” Harun mengherdik, “Mengapa engkau harus menangisiku?” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, aku cuma duduk di tahtamu sekali tapi mereka telah memukuliku dengan begitu keras. Apalagi kau, kau telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang malang…


Seindah apapun..

Sebuah persembahan untuk setiap insan yang mendambakan keindahan dan
kebahagiaan..

Seindah dan semanis apapun madu didunia ini, takkan bisa menandingi
manisnya iman..Seindah apapun musik didunia ini dari Rock sampai Rap,
takkan bisa menyaingi indahnya dan nikmatnya lantunan ayat suci
Al-Qur'an..Seindah dan sehappy apapun cinta didunia ini, takkan bisa
menandingi kenikmatan mencintai Allah dan Rasul-Nya..

Seindah dan senyaman apapun kendaraan didunia ini dari Jaguar sampai
Mercedes, takkan bisa menyamai indahnya sendal yang berjalan dijalan
yang lurus..

Seindah dan semulus apapun jalan raya didunia ini, takkan bisa menyaingi
indahnya jalan menuju Ridho Allah semata..Seindah dan seadem apapun
naungan pohon yang rindang didunia ini, takkan bisa menandingi naungan
kasih sayang Allah!

Seindah apapun film true story didunia ini, takkan bisa menandingi film
true storynya Rasulullah SAW semenjak didalam kandungan hingga
wafat..Seindah apapun perlombaan didunia ini, takkan bisa menandingi
indahnya berlomba-lomba dalam kebaikan..

Seindah apapun kemenangan dan kesuksesan didunia ini, takkan bisa
menyaingi keindahan kemenangan menegakkan kalimah Allah...

Seindah dan seluas apapun gedung didunia ini, takkan bisa menandingi
keindahan dan kelapangan rumah-rumah Allah..Seindah dan secantik apapun
bidadari syurga, takkan bisa menyaingi pesona dan kecantikan hati
seorang wanita muslimah yang menghiasi dirinya dengan akhlak mulia..

Seindah dan setampan apapun pria didunia ini, takkan bisa menyaingi
indahnya cahaya diwajah seorang muslim yang menjadikan AlQur'an sebagai
jiwanya..

Seindah dan semenawan apapun pakaian didunia ini, takkan bisa menyaingi
menawannya pakaian Taqwa..Seindah dan seceria apapun mengecek daftar
aset kekayaan yang semakin meningkat, takkan bisa menyaingi keceriaan
melihat daftar aset amal baik yang melebihi amalan buruk pada hari
pengadilan.. Seindah dan seharu apapun menonton film romantis Happy
Ending yang bikin menangis, takkan bisa menandingi kebahagiaan menonton
film kehidupan sendiri yang Husnul khotimah alias Happy Ending di
kehidupan abadi..amin

Seindah dan selezat apapun makanan didunia ini, takkan bisa menyaingi
kelezatan dan keberkahan makanan yang dihasilkan dari harta yang halal
dan disajikan oleh istri sholehah..Seindah dan sebagus apapun pendidikan
sekolah dan universitas di dunia ini, takkan bisa mengalahkan pendidikan
sekolah ibunda tersayang..

Seindah dan semegah apapun rumah yang dihuni, takkan bisa menyaingi
ketentraman rumah yang selalu dibacakan ayat suci AlQur'an.. Seindah dan
seborju apapun rumah tangga, takkan bisa menyaingi keromantisan rumah
tangga yang diselimuti pengertian dan saling mengalah..

Seindah dan semujarab apapun Obat stress didunia ini, takkan bisa
menandingi indahnya senyuman seorang istri menyambut suaminya yang
pulang membawa stress dari pekerjaan..Seindah dan semanjur apapun cream
penghalus dan pemutih wajah, takkan bisa menyaingi kesejukan air wudhu
yang membasuhi wajah di sepertiga malam terakhir..

Seindah dan semanjur apapun obat Awet muda, takkan bisa menyaingi
indahnya mendambakan muda abadi disyurga..

Seindah dan setajam apapun pedang didunia ini, takkan bisa menandingi
tajamnya penglihatan seseorang yg melihat dengan cahaya Allah..Seindah
dan seenak apapun aktivitas dan pekerjaan manusia didunia ini, takkan
bisa menandingi keindahan dan kenikmatan sujud meminta ampun pada Sang
Khaliq

Seindah dan senikmat apapun mengingat kekasih yang tersayang, takkan
bisa menyaingi kenikmatan mengingat Yang Maha Penyayang!

Seindah dan sebahagia apapun rindunya bertemu sang kekasih, takkan bisa
menyaingi kebahagiaan merindukan pertemuan dengan yang Maha Pengasih!

Seindah dan sebahagia apapun menerima raport hasil ujian dengan nilai
tinggi, takkan bisa menandingi kebahagiaan menerima hasil ujian hidup
dihari akhir dengan tangan kanan!

Seindah dan seceria apapun menerima gaji bulanan dengan puas, takkan
bisa menyaingi kepuasan menerima ganjaran dan balasan amal baik di hari
akhir..

Seindah apapun pemandangan alam semesta, takkan bisa menandingi
keindahan pesona melihat wajah Allah di syurga! bagi orang-orang
mu'min..

From My Best Friend in Cairo

How to be a Successful Husband

by Muhammad Alshareef

1. Dress up for your wife, look clean and smell good.
When was the last time us men went shopping for designer pajamas? Just like the husband wants his wife to look nice for him, she also wants her husband to dress up for her too. Remember that Rasulullah (saw) would always start with Miswak when returning home and always loved the sweetest smells.

2. Use the cutest names for your wife.
Rasulullah (saw) had nicknames for his wives, ones that they loved. Call your wife by the most beloved names to her, and avoid using names that hurt her feelings.

3. Don't treat her like a fly.
We never think about a fly in our daily lives until it 'bugs' us. Similarly, a wife will do well all day - which brings no attention from the husband - until she does something to 'bug' him. Don't treat her like this; recognize all the good that she does and focus on that.

4. If you see wrong from your wife, try being silent and do not comment!
This is one of the ways Rasulullah (saw) used when he would see something inappropriate from his wives (ra). It's a technique that few Muslim men have mastered.

5. Smile at your wife whenever you see her and embrace her often.
Smiling is Sadaqah and your wife is not exempt from the Muslim Ummah. Imagine life with her constantly seeing you smiling. Remember also those Ahadith when Rasulullah (saw) would kiss his wife before leaving for Salah, even if he was fasting.

6. Thank her for all that she does for you.
Then thank her again! Take, for example, a dinner at your house. She makes the food, cleans the home, and a dozen other tasks to prepare. And sometimes the only acknowledgement she receives is that there needed to be more salt in the soup. Don't let that be; thank her!

7. Ask her to write down the last ten things you did for her that made her happy.
Then go and do them again. It may be hard to recognize what gives your wife pleasure. You don't have to play a guessing game, ask her and work on repeating those times in your life.

8. Don't belittle her desires. Comfort her.
Sometimes the men may look down upon the requests of their wives. Rasulullah (saw) set the example for us in an incident when Safiyyah (ra) was crying because, as she said, he had put her on a slow camel. He wiped her tears, comforted her, and brought her the camel.

9. Be humorous and Play games with your wife.
Look at how Rasulullah (saw) would race his wife A'ishah (ra) in the desert. When was the last time we did something like that?

10. Always remember the words of Allah's Messenger (saw), "The best of you are those who treat their families the best. And I am the best amongst you to my family." Try to be the best!
In conclusion: Never forget to make Dua to Allah Ta'ala to make your marriage successful.

And Allah ta'ala knows best.

diambil dari khutbah.com

I N U L

Oleh: KH A. Mustofa Bisri

Sebetulnya, ketika ikut pameran lukisan dalam rangka Muharraman di Surabaya tempo hari, saya menampilkan cukup banyak lukisan yang lumayan—yang saya buat secara ‘mendalam’—seperti lukisan-lukisan kaligrafi dan lukisan-lukisan saya yang berjudul “Menyerap Cahaya”, “Sumeleh”, “Mulut”, dan sebagainya. Namun tampaknya sedikit sekali pengunjung yang menaruh perhatian terhadap “lukisan-lukisan serius” saya itu. Jangankan lukisan-lukisan saya itu; lukisan “Sebagian Doa Akasyah”-nya Almarhum Amang Rahman, “Dewi Kesuburan”-nya Danarto, “Pengamen Istirahat”-nya Joko Pekik, “Maaf 01”-nya S’Narko, “Waspada”-nya D. Zawawi Imron, “Foto Diri”-nya Acep Zamzam Noor, “Siapa Dapat Menguasai”-nya Ismail, “Rijal Ghaib”-nya Luqman Aziz, “Sebuah Doa”-nya Yunus Jubair, dan karya pelukis-pelukis profesional lainnya, seperti dilalui begitu saja. Semua perhatian –minimal seperti tergambar dalam pemberitaan pers—seolah tersedot oleh satu “lukisan balsem” saya: “Berdzikir Bersama Inul”.

Seperti terhadap Inul sendiri, lukisan itu terus berputar-putar, mencoba mengebor isi kepala. Wartawan berbagai media sibuk mewawancarai saya dan para pelukis lain tentang lukisan itu. Ratusan SMS masuk, menanyakan tentang hal yang sama. Bahkan banyak kiai yang berniat istighotsah di Makodam, menyempatkan diri bertanya tentang “siapakah itu Inul yang berdzikir bersama saya”. Bahkan sebuah seminar diselenggarakan, khusus dengan mengundang pelukisnya sebagai nara sumber (Alhamdulillah atau Innaalillah, tanpa mengundang si Inulnya!). Bahkan di Seminar Muslimat, di mana saya menjadi nara sumber –yang diminta ikut “merefleksi” perjalanan kiprah dan khidmah Muslimat NU, seorang ibu sempat, dengan bersemangat, menghujat saya tentang lukisan Inul itu.

Kehebohan itu semua, membuktikan “tesis” saya yang saya lengkapi dengan melukis “lukisan balsem” tersebut. Selama ini saya –termasuk orang yang— resah dengan perkembangan manusia Indonesia yang seperti tak sadar-sadar akan adanya hegemoni dunia/materi atas “kepala”-nya. Ketika Orde Baru menerapkan secara serampangan sistem kapitalis di negeri Pancasila ini, manusianya pun semakin terbentuk sebagai manusia materialistis seperti Amerika. Manusia yang pikiran dan perhatiannya terpusat kepada kepentingan duniawi dan cenderung hanya memanjakan raga, jasad, badan, jasmani. Daging. Mengabaikan jiwa, ruh, dan nurani.

Kita secara resmi, selalu menyanyikan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”; namun badan saja yang terus kita bangun. Kita pun menjadi manusia yang berpenampilan “modern”, namun dengan isi kepala yang primitif. Gagah secara lahir dan kropos di batin. Lihatlah, kita panik setengah mati, dengan segala yang diduga mengancam jasmani kita; padahal seringkali hal itu justru akibat ulah kita sendiri yang dipengaruhi pandangan hidup serba daging itu. Sementara terhadap hal-hal yang jelas-jelas mengancam jiwa dan nurani, kita tampak ayem-ayem saja.

Kebejatan-kebejatan yang terjadi di seputar kita, kiranya hanyalah hasil logis dari itu semua. Korupsi yang merajalela dan tak kunjung menyentuh rasa malu pelakunya; berdesak-desak berebut jabatan dan kekuasaan tanpa memikirkan tanggung jawab dan amanahnya; berkelahi dengan sesama saudara secara bengis; premanisasi yang semakin membudaya; kemunafikan yang terus dipamerkan secara fasih; sampai dengan masalah pornografi, narkoba, dan kriminalitas lainnya, adalah keniscayaan yang tak akan dapat dibrantas kecuali —dengan rahmat Allah— kita disadarkan dengan kekeliruan pandangan hidup yang serba materi itu tadi.

Dalam kehidupan keberagamaan pun warna daging itu tampak kental. Pembangunan peribadahan hanya dimengerti sebagai pembangunan fisik. Di mana-mana, masjid indah dibangun. Bahkan kadang-kadang satu kampung dibangun beberapa masjid megah. Sementara itu jarang sekali yang sempat menengok atau berpikir tentang isi masjid-masjid itu. Masjid-masjid akbar hanya agak penuh setahun dua kali (di hari Idul Fitri dan Adha) dan seminggu sekali (Jumat) dalam beberapa jam atau menit saja. Syiar Islam diciut-artikan hanya sebagai pengeras suara. Pelajaran-pelajaran agama yang diperjuangkan mati-matian oleh “para pejuang muslim” untuk diajarkan di sekolah-sekolah, tak pernah ditengok atau dipikirkan apakah pelajaran-pelajaran itu memang pelajaran-pelajaran inti agama yang dapat membawa anak didik menjadi manusia beragama yang saleh, atau sekadar pelajaran-pelajaran daging yang hanya untuk memperoleh nilai daging dalam rapor yang daging.

Bila Islam dimengerti hanya sebagai daging tanpa ruh, maka orang Islam pun bisa dengan mudah berkelahi dengan saudaranya sendiri sesama orang Islam, misalnya. Seperti kita ketahui, orang Islam ada dua: mukmin dan munafik. Mukmin sejati ditandai antara lain dengan banyak berdzikir; sementara munafik hanya sedikit berdzikir. Lalu bagaimana orang bisa berdzikir hanya dengan daging?

Bagi saya, fenomena Inul adalah sindiran Tuhan kepada kita, manusia serba daging ini. Inul adalah simbol daging paling daging. Kepala yang penuh daging, meski disorbani segede ban radial, hanya akan melihat daging Inul sebagai daging. Inul agaknya diciptakan Tuhan memang untuk mengebor kepala kita yang error.

Belakangan rupanya Allah tak lagi sekadar menyindir, tapi sudah meberi pelajaran yang luar biasa, semacam shock therapy, dalam wujud tindakan biadab Amerika dan kroni-kroninya terhadap kemanusia di Irak. Itulah wajah asli imperialisme yang selama ini kita jadikan kiblat peradaban dan kita jadikan teladan hidup. Hanya karena mengincar cadangan minyak Timur Tengah, menjaga kepentingannya di Israel, dan dollarnya, Amerika dan kroni-kroninya menghalalkan segala cara dan mengabaikan nurani dunia. Lalu hampir bersamaan, kita pun dipanikkan oleh apa yang disebut SARS; wabah yang mengancam daging kita.

Tinggal kita; apakah kita bisa mencerdasi sindiran dan “pelajaran Tuhan” itu lalu sadar kembali kepada ajaran-Nya, ataukah itu semua tak berarti apa-apa bagi kita dan kita masih tetap bersikukuh mempertahankan pandangan hidup yang serba duniawi seperti selama ini.

Duta Masyarakat, 24 April 2003

SEBAB JATUH BANGUNNYA SUATU BANGSA

Setiap agama biasanya membahas sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat. Pandangan suatu agama mengenai faktor-faktor utama kemajuan dan kemunduran suatu komunitas, menunjukkan pendekatannya terhadap masyarakat dan gerakannya dalam memperbaharui tatanan tersebut.

Al-Qur’an memiliki beberapa pandangan, misalnya mengenai sebab menyelewengnya suatu bangsa sebagai akibat dari ketaatan terhadap abaa’uhum (bapak-bapak mereka), yang dapat dimaknai sebagai pemimpin, nenek moyang, pembesar-pembesar maupun tokoh-tokohnya. Kalangan elit sosial tersebut diklaim memproduksi ketimpangan, feodalisme, ketaatan buta, fanatisme dan kultus individu yang pada akhirnya menyelewengkan rakyat dari penghambaan hanya kepada Allah.

Namun, Al-Qur'an secara keseluruhan, menyebut masing-masing empat faktor yang mempengaruhi jatuh bangunnya suatu masyarakat. Secara singkat pada kesempatan ini akan dibahas masing-masing faktor tersebut.

Keadilan atau Kedzaliman.

“Sungguh, Fir’aun telah meninggikan dirinya di bumi dan menjadikan penduduk negerinya berkasta-kasta, dengan menindas satu golongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, ia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash (28) : 4)

Ayat ini pada awalnya menggambarkan nafsu Fir’aun yang memperlakukan rakyatnya sebagai sapi perahan, bersikap diskriminatif dan otoriter. Al-Qur'an menyebutnya sebagai mufsid (pembuat kerusakan) dimaksudkan sebagai kutukan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya sebagai pemegang kekuasaan.

Meski Fir’aun telah ditenggelamkan di laut Merah, tidak berarti semangat dan perilaku firaunis lenyap begitu saja. Di Indonesia, meski secara formal Orde Baru telah dijatuhkan, kenyataannya bangsa ini masih dibawah cengkeraman manusia bermental firaunis. Kebijakan-kebijakan yang tidak berfihak pada rakyat, kenaikan harga BBM dan bahan pokok, bebasnya para konglomerat hitam, KKN yang semakin merajalela, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, menunjukkan keadilan masih jauh dari jangkauan.

Perilaku firaunis menjalar tidak saja pada tingkat elit politik, tetapi diderita pula oleh kita kalangan wong cilik. Disadari atau tidak, kita pun kerap bersikap firaunistik. Ketika supir berlaku seenaknya di jalan, tukang ojeg me-mark-up ongkos terhadap penumpang yang diyakini orang baru, pedagang di pasar yang memanipulasi timbangan, polisi yang menerima salam kepal dari sopir-sopir, birokrat yang mengutip uang administrasi, hakim yang hobi disuap, atau lainnya, membuktikan kedzaliman telah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat. Kita seringkali tidak proporsional ketika mengkritik habis elit politik yang korup, padahal saat yang sama kita menjiplak perilaku orang yang kita kritik. Kita pun menjelma menjadi Fir’aun di rumah, sekolah, kantor, masjid, pasar, hutan, laut, dan sebagainya.

Kedudukan hari ini ditentukan sejauhmana ia memiliki kekayaan dan kuasa. Ironisnya kita berbangga hati dengan semua itu.Seorang caleg berani menghabiskan uang puluhan juta demi nomor urut dan membeli ijazah palsu, pesakitan berani menyumpal mulut hakim agar kasusnya dimenangkan di pengadilan, kita pun biasa membayar puluhan juta agar dapat diterima jadi PNS, hutan digunduli atas nama pembangunan, laut dan sungai dicemari, sumber daya alam (emas, minyak dan lain-lain) dikuasai asing, hingga pesta pernikahan yang menghabiskan banyak uang untuk sewa gedung, dekorasi, pakaian, dan katering. Padahal masih banyak yang kesulitan secara ekonomi, tidak bisa makan, dan menganggur. Bukankah ini pun sebuah kedzaliman ?

Persatuan atau Perpecahan.

Surat Ali-Imran ayat 103, memberikan suatu perintah jelas untuk bersatu di atas dasar aqidah, serta melarang perpecahan. Dalam ayat berikutnya (Qs. 3 : 105), kita diminta untuk tidak meniru perilaku para pendahulu (kaum Yahudi dan Nasrani) yang saling berselisih dan berpecah-belah dengan diakhiri peringatan adzab jika tidak mengindahkannya.

Saat ini, persaingan antar kelompok kepentingan begitu kentara, parpol, organisasi, tokoh, bahkan jama’ah-jama’ah saling klaim dan memonopoli kebenaran. Menuduh yang di luar kelompoknya sebagai a-reformis, status quo, kafir, bid’ah atau sesat. Budaya buruk sangka lebih berkembang daripada dialog dan toleransi. Akibatnya intrik, saling sikut mewarnai perkembangan masing-masing kelompok untuk memenangkan ambisinya.

Friksi antar kelompok ini harus segera dituntaskan. Sebelum kekuatan semakin melemah dan permusuhan kian menguat. Kehendak untuk berdialog, taffahum dan membangun sinergi seyogyianya lebih dikedepankan daripada menuduh kesana kemari. Sekian generasi dan waktu, energi kita dihabiskan hanya untuk mensesatkan orang atau kelompok yang berbeda pemikiran dan garis politiknya dengan kita. Jelas hal ini sebuah kesia-siaan.

“....janganlah kamu saling berselisih, sebab kamu akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan...” (Qs. Al-Anfaal : 46)

Perbedaan yang tidak bisa disikapi dengan arif inilah yang membuat kita (ummat Islam) senantiasa menjadi komoditas politik kekuatan lain. Kita menyadari bagaimana terorisme menjadi dagangan yang laik jual dengan kasus-kasus pemboman, teror dan banyak lagi. Sejak Orde Baru, kita kerap distempel dengan cap komando jihad (komji), Eka (ekstrim kanan), AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara), bahkan rakyatpun seringkali diatasnamakan hanya untuk kepentingan kuasa dan uang.

Mengamalkan atau Melecehkan Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Al-Qur'an sangat menekankan sekali kewajiban amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran). Kesimpulan jelas yang dapat ditarik dari salah satu ayatnya adalah jika kita melecehkan atau mengingkari kewajiban besar ini, akan mengakibatkan kehancuran dan keruntuhan tatanan yang selama ini ada. Al Maidah ayat 79 menerangkan bahwa salah satu alasan Allah melaknat sebagian Bani Israil adalah karena mereka mengingkari kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.

“Mereka saling tidak melarang tindakan munkar apapun yang mereka perbuat.”

Kita dapat dengan mudah menggolongkan apakah termasuk menunaikan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar atau melecehkannya dalam kasus dibebaskannya para bankir bermasalah, diterimanya kasasi Akbar Tandjung, dipenjarakannya Ustadz Jafar Umar Thalib dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dan banyak lagi pelecehan-pelecehan atas nama hukum dilevel lokal maupun nasional.

.

Moral atau Amoralitas.

Nilai moral menjadi barometer kualitas suatu masyarakat. Moralitas menjadi garis pemisah antara yang benar dengan yang salah. Kenyataannya saat ini, kita tanpa tedeng aling-aling berani memperlihatkan perilaku amoral secara terbuka. Pergaulan bebas dipertontonkan tanpa rasa malu, pantat perempuan (maaf - pen) dipertontonkan atas nama seni, orang berjudi bebas tanpa takut apapun, minum-minuman keras ditenggak didepan umum, bangkitnya kepercayaan terhadap tahayul dan mistik (sihir), membunuh dengan mudah hanya karena hal-hal yang sepele, berbohong dan memanipulasi fakta atas nama rakyat dan bangsa, sensualitas dijual murah di koran dan tv. Mereka yang melakukannya begitu santai tanpa perasaan berdosa, justru yang melihatnya malah merasa malu. Sangat terbalik. Banyak yang telah menderita impotensi hingga tidak sanggup mencegah perjudian, kemaksiyatan dan perilaku-perilaku amoral lainnya.

****

Realitas diatas menunjukkan seberapa jauh kualitas kita sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat. Ketika keserakahan, kebiadaban dan nafsu diumbar, kita semua merasakan akibatnya. Bencana alam, kebakaran hutan, kekeringan, wabah penyakit menjadi peringatan bagi kita untuk merombak semuanya hingga keadilan, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar dan moralitas benar-benar menjelma secara paripurna. Jika tidak kunjung disadari, Allah akan menggantikan kita dengan kaum (masyarakat) lain yang lebih baik.

Tidak ada alasan untuk bersikap pasif, Al-Qur'an sangat menghargai orang atau komunitas yang bangkit menyerukan perubahan. Misalnya, Qs. Al- Qashash ayat 5, Allah menjanjikan orang-orang tertindas yang bangkit akan dijadikan pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris yang sah dalam merombak tatanan yang rusak. Tetapi sebelum upaya tersebut dilakukan, perubahan mentalitas, sikap, cara berpfikir harus terlebih dahulu dilakukan. Kegagalan gerakan reformasi kiwari, karena mendahulukan perubahan sosial-politik daripada perubahan mentalitas. Akibatnya pasca 1998, bangsa ini jatuh kepada cengkeraman stelsel mental-mental lama yang sulit dilawan. Kita hanyalah Fir’aun yang berteriak seperti Musa dan Harun, atau Namrudz yang berbaju Ibrahim, karena meski tatanan sosial-politik telah berubah, mentalitas kita tidak ikut berubah.

Idza bi nafsik ! (mulailah dari dirimu sendiri). Seruan ini mungkin klasik, tetapi inilah titik awal perubahan semestinya. Hudzaifah al Yamani pernah ditanyai mengenai hati yang mati, beliau menjawab, “yaitu ketika seseorang tidak menolak kemungkaran dan tidak pula mengingkari dengan tangan, lisan maupun hatinya.” Wallahu A’lam.(Sukma Prihatin)

Estetika dan Protret Indonesia

Indonesia adalah sebuah proposisi yang sulit. Mudah dibayangkan perbatasan-perbatasannya, diuraikan unsure-unsurnya, diperhitungkan kekayaannya, tetapi sangat susah didekati, apalagi disepakati, siapa yang berhak atasnya. Seluruh sejarah ingatan tentang kepulauan Indonesia dalam satu abad terakhir penuh dengan cerita perkelahian sengit untuk memenangkan kseimpulan tentang hak, bukan menyepakatinya. Mudah menolak apa yang asing, sulit menemukan siapa diri. Menemukan Indonesia adalah percobaan membangun rumah-pasir, selalu harus dimulai kembali setelah ombak datang menghempas; tanpa jaminan selesai, tanpa kepastian kapan.

Jika masyarakat adalah kerja separuh-jadi, maka inilah potretnya sekarang. Sekolah Rakyat dan sekolah-unggul. Masssa pendatang gelap dan warga kota. Perumahan liar dan real estate. Kas kantor negara dan kantong rakyat. Media massa dan pertukaran-informasi-rakyat. Lembaga negara dan pengurusan publik. Seniman politik menentukan politik kesenian. Elit ekonomi mengatur hidup-mati rakyat. Sumber daya alam Indonesia dan wilayah hidup rakyat setempat. Kuasa senjata, kuasa uang, kuasa pertimbangan-keselamatan-rakyat. Kalau keanggotan merupakan pengenal satu masyarakat, yang kita punya adalah keanggotaan pasar; bisa diperoleh hanya dengan kekerasan tentu. Pertimbangkan yang berikut ini,’Kalbar’, ‘Sampit’,’Poso’, ‘Maluku’, 1965, 1975, 1989, 12-14 Mei 1998. Daftar nama tempat dan tanggal yang masih terus bertambah panjang. Masing-masing adalah fakta non-ilmiah tentang dimensi kekerasan dari politik kelas dan politik identitas.

Kolase keping-keping potret tadi pasti bukan ‘Indonesia’. Tapi itulah ‘Indonesia’. Sebagai eksperimen dan proyek raksasa yang belum selesai saja dia sudah cukup membawa kesusahan untuk hiup orang biasa.bayangkan kalau ada yang berhasrat ‘menyelesaikannya’. Dalam kegilaan ada metoda. Tapi di dalam sebuah medan perampokan massal, tidak akan ditemukan keindahan. Estetika kehilangan maknanya di galeri-galeri pribadi para pedagang-nasib rakyat. Kesenian adalah sebuah bentuk barang, dengan kandungan potensi komersialnya. Di uungnya, perasaan dan pendalaman hati adalah sebuah pasar yang menjanjikan laba.

Ajakan menemukan dan menghormati keindahan adalah mencari yang sekarang hilang dari potret kehidupan rakyat kepulauan. Nilai dari sebuah ikhtiar bertahan hidup dari sekeluarga orang-bisa. Kebarinan utuk berpikir dan berbuat untuk orang-lain, bukan diatur dan mengatur orang-lain. Memulihkan kepingan tanah air yang rusak. Mengerutkan ketergantungan pada aliran-uang. Sakitnya membayangkan momen kematian karena kekerasan. Mulianya air dan hasil cocok-tanam rakyat. Menemu-kenali keaadaan hati dalam hasil keja manusia. Didasar yang paling bwah : setia-kawan dan hormat pada alam.

Agenda Indonesia sekarang adalah bagaimana belajar mempertautkan hati rakyat; Bagaimana memulihkan kerusakan wilayah-wilayah kehidupan yang paling dekat dengan hidup shari-hari; bagaimana menemukan kembali rumah-bersama untuk rakyat. Sangat boleh jadi, urusan ini terlalui genting dan berharga untuk kita serahkan pada para ahli mengatur negara, pemegang-kuasa-keuangan, atau petugas-pengendali-perubahan lainnya, mengingat pengalaman panjang kita selama ini. Sangat boleh jadi, urusan itu banyak berurusan dengan keindahan, bukan perhitungan.

Pasangan Kita

Pasangan kita adalah penyelamat dunia akhirat,,,,

Pagar moral kita,
Hakim bagi diri kita,

Karena itulah,
Tidaklah semata menikah karena paras belaka,
Atau memilih karena suka,
Tanya pada nuranimu...
Tanya pada prinsipmu...
Pinta pada Rabbmu...
"Pilihkan untuk aku yang Terbaik!"

Niscaya...
Bahagialah kita,
Tentramlah jiwa,
Karena kita telah terjaga
Oleh penjaga yang terpercaya
Bidadari pilihan-Nya..

Bukan pilihan hasrat kita,
Bukan telunjuk dari rasa suka kita yang berbicara...

Itulah, ketika
Allah dimenangkan dalam dada,
Niscaya terbuka segala hikmah..

Pasangan kita
menjadi jalan untuk segera bertemu
dengan-Nya....
Bukan menjadi penghalang...
Atau perusak...

Niscaya cemburulah Dia...