Sunday, June 10, 2007

MANIFESTO AHLI DZIKIR

Tendensi alamiah manusia untuk selalu hidup tertib, nyaman dan sejahtera, baik secara mental-spiritual, maupun sosial, politik, ekonomi dan budaya. Diakui ataupun tidak, manusia membutuhkan ketertiban yang melingkupi dirinya, baik berupa ketertiban yang bersumber dari internal diri manusia itu sendiri, maupun dari faktor eksternalnya (masyarakat).

Karena manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, ia akan memerankan dirinya sebagai makhluk yang sadar diri dan sadar sosial. Tidak mungkin bagi dirinya untuk mengembangkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya. Pengabaian salah satu aspek tersebut akan menjerumuskan ia kepada ketidakseimbangan yang ia tolak jauh-jauh sebelumnya sebagai wujud komitmen total pada ketertiban. Sebagaimana ketidakseimbangan akan terjadi ketika manusia mendewakan jiwa ruhaninya, dan menolak total peran sosialnya, begitupun halnya ketika peran sosial dikedepankan tanpa membangun aspek ruhani.

Jadi ketertiban dan kesejahteraan manusia hanya akan berkembang dengan mengaktualkan aspek internal dan eksternal manusia, pribadi dan sosial. Al Qur’an memberikan contoh bagaimana hukum sejarah terjadi kepada kaum yang mengabaikan salah satu dari dua aspek tersebut.



“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…” (Qs. Ali Imran (3) : 112).


Ayat di atas berkisah tentang Bani Israil yang tidak mau memerankan atau komitmen kepada keseimbangan. Mereka mengabaikan aktualisasi pengembangan jiwanya untuk menuju Allah (Habl min Allah) dan ikatan sosial (Habl min al nas).

Hidup dalam tata nilai relijius merupakan manifestasi nyata dari hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah). Dalam kesadaran keagamaan, seruan para Rasul sebagai sebuah metode aplikatif dalam mengamalkan kesadaran ketuhanannya dalam masyarakat (habl min al nas).

Artinya kebutuhan manusia terhadap keseimbangan dan ketertiban akan terwujud dengan naluri dan tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan mengolah alam dan kecenderungan hidup bersama sehingga terbentuk komunitas sosial.

Ketidakseimbangan yang terjadi saat ini, akibat manusia hanya mengedepankan aspek material dari masyarakat saja. Manusia enggan untuk mengakui kebutuhan jiwanya akan pesan-pesan Ilaahiyah, menata masyarakatnya dengan tuntunan-tuntunan wahyu, karena memandang manusia dan alam semesta adalah final : tidak membutuhkan dan tidak memiliki kecenderungan dan fakta aspek metafisika, sehingga manusia tinggal memenuhi kebutuhan jasmaninya dari alam.

Eksploitasi sumber daya bumi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan badani dan aktifitas manusia yang semakin ketat. Teknologi mampu mempersingkat waktu tempuh perjalanan manusia, mempercepat komunikasi dan membuka kebebasan informasi.

Ironisnya, manusia memiliki gedung-gedung yang semakin tinggi, tetapi semakin rendah ketahanannya akan amarah. Rumah-rumah yang dimiliki semakin besar, tetapi keluarga semakin kecil. Rumah yang nyaman, tapi tidak ada waktu untuk menikmatinya. Rumah yang elok, tetapi keluarga berantakan.

Manusia memiliki relasi bisnis yang banyak, tetapi tidak begitu banyak kenal dengan tetangga dekat. Semakin banyak gelar akademis, tapi semakin sempit akal. Semakin banyak pengetahuan, tapi makin sempit penilaian pada yang baik dan yang salah.

Kita telah belajar bagaimana mencari nafkah, tetapi tidak belajar bagaimana mencari makna hidup. Kita mampu menambah tahun-tahun dalam kehidupan kita, tetapi gagal membawa kehidupan dalam tahun-tahun hidup kita. Manusia mampu melakukan hal-hal yang besar, tetapi gagal melakukan hal-hal yang baik. Kita membersihkan udara, tetapi jiwa kita penuh polusi. Manusia telah mampu menaklukan atom, tetapi tidak mampu menaklukan prasangka buruk. Terlalu banyak menilai, tetapi kurang introspeksi.

Kita banyak berencana, tetapi sedikit menggapai. Kita belajar untuk mengejar apa yang kita inginkan, tapi tidak belajar menunggu. Manusia-manusia lebih besar fisiknya, tetapi kerdil jiwa dan karakternya.

Paradoks kehidupan modern saat ini, dirasakan tidak nyaman karena tidak memelihara keseimbangan yang telah digariskan. Diantara manusia ada yang mensikapinya dengan melarikan diri dalam hiburan-hiburan ruhani, mengasingkan dirinya di sana dan menolak keburukan-keburukan masyarakat. Ada pula yang mencampurkan berbagai metode pendidikan jiwa dari berbagai agama, dan mengklaimnya sebagai sebuah wahyu baru abad millenium dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

Sinkretisme beragama diatas, sejenak memang bisa memberikan hiburan dan ketenangan, yang dipandang kemudian sebagai keseimbangan. Tetapi, keseimbangan hanya mungkin dicapai dengan mengikuti tuntutan dan sistem (ad diin) yang memahami karakter dasar manusia. Sistem yang memahami manusia hanya bersumber dari yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu : Allah.

Sistem Islam (Dinul Islam) sebagai perangkat pengembangan jiwa manusia dan menuntunnya dalam masyarakat dalam pola yang harmonis, hanya mampu difahami bila manusia berhasil membebaskan dirinya dari berbagai sudut pandang yang selama ini mengendap dialam bawah sadarnya. Manusia harus membebaskan dirinya dari ego, subyektifitas pemikiran dan teori-teori manusia, untuk sampai pada obyektifitas diri dalam memahami agama Allah.

Praktek-praktek beragama kita saat ini bisa jadi masih tercampur berbagai bid’ah atau subyektifitas yang bersumber dari sejarah masa lalu, fanatisme, penafsiran yang tidak lengkap, atau kebodohan-kebodohan diri kita. Untuk membebaskan diri dari hal-hal tersebut, seorang ahli dzikir mutlak harus memiliki sikap relijius, sikap ilmiah dan sikap ideologis.

Sikap relijius berkenaan dengan moralitas, bagaimana menanamkan pada diri untuk berperilaku dan beretika Islam. Memandang sesuatu bukan sekedar fenomena indrawi (materialis), tetapi lebih mendalam, hingga mampu menguak hikmah dibalik segala peristiwa untuk diaktualisasikan dalam kehidupan praktis (mission building).

Sikap ilmiah, sikap yang mencerminkan obyektifitas, metodologis dan sistematis. Obyektif yaitu jujur, terbuka melihat permasalahan, tidak apriori dan menganalisanya dari berbagai sudut pandang. Seseorang yang bersikap ilmiah pada dasarnya adalah seorang yang kritis, yang selalu tidak begitu saja menerima setiap data ilmu. Ia selalu hati-hati supaya bias pribadi tidak mempengaruhi penilaiannya. Ia selalu mencari kebenaran dan menerima fakta-faktanya untuk difahami. Ia selalu sistematis dan menempatkan hal-hal yang diketahuinya ke dalam suatu sistem yang tertib.

Sikap ideologis, merupakan kelanjutan dari realisasi mission building yang diperoleh dari sikap relijius di atas. Seorang pengemban missi akan responsif dan ekspansif dalam mengembangkan keyakinan relijiusnya.

Sikap ideologis ditunjukkan dengan adanya perjuangan ideologi, yakni perjuangan mewujudkan keseimbangan habl minallah dan habl minannaas. Pertama, adanya perasaan bahwa tujuan pengembangan jiwa (tazkiyyah an nafs) telah menyatu dengan tujuan-tujuan individual para ahli dzikir. Dengan adanya perasaan demikian, maka tidak akan timbul lagi persepsi yang dikotomis tentang perkembangan spiritual dengan pembangunan masyarakat : aspek pertama dipandang murni ruhani dan jiwa, sementara aspek kedua adalah sekuler dan politik an sich.

Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kedua aspek di atas, keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Begitu pun halnya, tidak terdapat friksi antara cara-cara dalam mencapai tujuan pengembangan jiwa, berhadapan dengan pencapaian tujuan-tujuan pribadi manusia.

Kedua, adanya perasaan keterlibatan psikologis dalam program-prgram ideologis yang menimbulkan kepuasan batin bagi setiap ahli dzikir. Hal ini ditunjukan dengan adanya kesetiaan (wala’) yang tinggi, solidaritas sosial (ukhuwah), dan kegairahan dalam menghadapi tantangan.
Bila ketiga sikap di atas (relijius,ilmiah dan ideologis) telah tertanam di dada setiap ahli dzikir, konsekuensi logisnya akan lahir sebuah manifesto seorang ahli dzikir. Manifesto ahli dzikir adalah sebuah arah, haluan dari sebuah pergerakan mewujudkan tatanan yang seimbang di atas.
Tanpa manifesto, bagaimana pun ritual dzikir dijalankan, ia hanya akan berhenti pada sekedar memuaskan kehausan jiwanya. Tidak memiliki efek terhadap perubahan lingkungan. Dengan kata lain, ia tetap tanpa arah alias tidak seimbang.

Untuk menghindarinya, sebagai guideline dalam bertindak, manifesto adalah kemestian sebuah perjalanan dzikrullah dan tazkiyyah. Agar setiap ahli dzikir mampu berperan dalam ruang geografisnya secara definitif. Inilah bentuk dzikir yang produktif, tidak sekedar memberikan ekstase ruhaniah yang cenderung menjinakkan kita dan malah membuat kita semakin pasif sebagai Penata Bumi (Khalifah).

Al Qur’an memberikan ilustrasi, bagaimana keyakinan diri yang kokoh menancap pada akarnya akan membentuk karakter yang mandiri, visioner dan cerdas memaknai zaman, hingga ia mampu memberikan sinergi dan kontribusi positif bagi lingkungan yang ia tempati.



“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (berdzikir)”. (Qs Ibrahim (14) :24-25)

Sementara orang-orang yang tertutup dari kalimat-kalimat kebenaran, tidak memiliki keteguhan. Mereka senantiasa terombang-ambing dalam kehidupan, jiwanya keropos, tidak memiliki visi dan missi hidup, dan tidak mampu memaknai fenomena zaman. Alih-alih membaca fenomena zaman, ia malah terseret arus materialisme yang deras.

“ Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (Qs Ibrahim (14) : 26)

Tentunya, Allah menginginkan keshalehan kita di mihrab-mihrab merambah pada realitas dan menyentuh masyarakat. Bila dzikir hanya sekedar kenikmatan ruhani di mihrab-mihrab, maka benarlah apa yang dikatakan Karl Marx, “agama adalah candu”, yang melenakan kita dengan memberikan hiburan sesaat dari problematika hidup dan tanggung jawab sosial yang kita emban sebagai Khalifah.
Wallahu A’lam

NB : Ini merupakan bagian dari naskah buku perdanaku "Ma'rifatudz Dzikir, sebagai bab penutup. Tapi sayang, entah kenapa bagian ini tidak dicetak.

No comments: